Jika lahirnya Boedi Oetomo pada 1908 menjadi tonggak kesadaran berbangsa dan bernegara untuk bangkit dan merdeka, maka peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini telah memasuki tahun yang ke-107. Perjalanan panjang sebuah bangsa. Bangsa Indonesia yang kala itu hidup dalam masa penjajahan, mengobarkan semangat nasionalisme dan patrotisme untuk merdeka, mengusir penjajah, kolonialisme dan imperialisme. Segala pengorbanan dicurahkan untuk meraih cita-cita suci tersebut. Tapi, kini sudah 107 tahun dan konon Indonesia telah merdeka. Masih relevankah semangat nasionalisme dan patriotisme menghadapi kondisi zaman sekarang? Jawabnya, tentu masih relevan. Hanya saja, semangat nasionalisme dan patriotisme yang bersemayam di lubuk hati bangsa Indonesia itu sudah sepantasnya bertransformasi menjadi gerakan kekinian yang bermanfaat dan bermartabat. Sebab, sudah pasti beda dulu, beda sekarang. Zaman dulu yang dihadapi adalah penindasan, kolonialisme, imperialisme. Penjajah harus enyah dari Bumi Pertiwi. Indonesia harus merdeka. Nah, sekarang yang dihadapi adalah degradasi moral yang telah menyusup ke berbagai sendi kehidupan. Kolonialisme dalam bentuk kekinian juga ada yakni kolonialisme yang membuat masyarakat diserbu berbagai barang impor. Karena itu, semangat nasionalisme patriotisme harus bertransformasi menjadi gerakan nyata untuk menghadapi tantangan tersebut. Banyak contoh di depan kita mengenai merosotnya moral bangsa. Seperti jiwa rakus, penggerogotan uang rakyat melalui tindak korupsi, sikap oportunis dan hedonis yang merusak jiwa kedermawanan dan kesalehan sosial, serta merebaknya penggunaan narkoba di kalangan generasi muda bangsa yang bisa menenggelamkan masa depan negeri ini. Masalah ini merupakan masalah serius. Pola kerja dari sikap tersebut sama-sama merusak karena semuanya menggerogoti. Fenomena yang dipertontonkan belakangan ini menunjukkan begitu masifnya "gerakan" tersebut. Dipertontonkannya koruptor di depan publik melalui media massa, tampaknya tidak membuat malu apalagi jera yang lain. Eksekusi mati gembong narkoba, tak menciutkan nyali bandar dan yang terlibat di dalamnya. Bahkan, sikap mengumbar kemewahan di tengah-tengah masyarakat yang sedang susah seperti menjadi kebanggaan, bangga dianggap "sukses". Sungguh suatu nilai moral yang sedang menghadapi goncangan hebat. Untuk menghadapi "gerakan" yang masif tersebut, sudah pasti perlu upaya yang masif pula. Tidak hanya dibutuhkan kepedulian, tapi juga upaya nyata semua pihak jika negeri ini tidak ingin jatuh dalam jurang kehancuran. Upaya tersebut harus dibangun secara terstruktur dan sangat serius. Kita semua tentu tidak berharap perayaan Hari Kebangkitan Nasional kali ini hanya sebatas seremonial dan formalitas belaka. Perayaan Hari Kebangkitan Nasional harus dikembalikan kepada roh yang sejatinya, yakni semangat luhur para pendiri bangsa ini. Indonesia harus jaya. Indonesia harus menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Indonesia harus berkeadilan. Dan, Indonesia harus sejahtera. Seperti halnya nama Hari Kebangkitan Nasional, maka kita semua warga bangsa harus bangkit dari berbagai keterpurukan, baik keterpurukan sosial ekonomi, keterpurukan harga diri dan kemandirian, keterpurukan dalam budi pekerti dan budaya, serta keterpurukan ekonomi dan keterpurukan lain. Bangkit berarti bangun. Bangkit berarti tersadar. Di era sekarang, rasanya tidak perlu beretorika untuk mempermanis citra. Belajar dari lahirnya Boedi Oetomo dan kemudian ikrar bersama Sumpah Pemuda pada 1928, semuanya harus bahu-membahu, fokus pada tujuan yang sama untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan bangsa agar Indonesia menjadi Indonesia Raya. Semoga .... (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015