Surabaya (Antara Jatim) - Sekolah Menangah Atas (SMA) 21 dan SMA 3 di Kota Surabaya diduga melakukan pungutan liar pada saat proses mutasi atau perpindahan siswa dari luar daerah.
Hal ini terungkap pada saat rapat dengar pendapat di ruang Komisi D DPRD Surabaya, Kamis, dengan menghadirkan salah satu wali murid Oktavianti Dwi Wulandari. Wali Murid ini menceritakan pada saat memindahkan anaknya, Salman Jahfal Aswita Akbar dari SMA 1 Cilapo Cianjur, Jawa Barat ke SMA 21 Surabaya.
Namun, pada saat akan mendaftarkan ke SMA 21, kami diminta oleh pihak sekolah biaya adminitrasi sebesar Rp8 juta dengan alasan untuk perbaikan AC yang rusak," kata Oktavianti.
"Saya waktu itu diterima oleh pak Wakaseknya. Saya langsung di minta uang dan harus dibayar cash," katanya Oktavianti.
Sebelum SMA 21 dan SMA 3, dugaan kasus serupa juga terjadi di SMAN 15 Surabaya. Saat ini kasus tersebut masih ditangani Polretabes Surabaya.
Merasa keberatan dengan tarikan sejumlah uang tersebut, Oktaviani langsung menarik berkas anaknya untuk mencari sekolah lain. Tujuan keduanya adalah SMA 3 Surabaya.
Namun, lagi-lagi dirinya diminta uang oleh pihak sekolah SMA 3 untuk membeli dua AC. "Satu AC harganya sebesar Rp4,5 juta. Jadi total keseluruhan Rp9 juta," katanya.
Awalnya, lanjut dia, pihaknya berharap di SMA Negeri 3 itu tidak dimintai pungutan apapun, tapi ternyata disana saya juga diminta lagi uang.
"Ini kan sama saja seperti di SMA 21. Tapi saya sempat menyetujui keinginan pihak sekolah untuk pembelian AC, dan saya membuat surat pernyataaan. Akhirnya saya kasihkan berkas anak saya ke pihak sekolah," ujarnya.
Namun setelah dirinya menyetujui dan membuat surat pernyataan, bahwa sepakat untuk pembelian AC. Beberapa hari setelah itu, dirinya membaca surat kabar, bahwa terjadi pungli di SMA 15.
Dia berfikir kasus itu persis yang dialaminya. Setelah itu dirinya ingin menarik surat pernyataan tersebut dan ingin pindah lagi kesekolah yang lain.
"Saya akhirnya ke dinas pendidikan untuk minta arahan sekolah mana yang cocok. Akhirnya saya disarankan ke SMA 8. Tapi kendalanya rapot anak saya masih tertahan di SMA 3, dan rencananya saya sekarang mau mengambil rapot anak saya," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Surabaya, Reni Astuti mengatakan, seharusnya kejadian seperti ini tidak boleh terulang karena tidak menutup kemungkinan, citra pendidikan di kota Surabaya yang selama ini bagus, tetapi dengan banyaknya kasus pungli yang terjadi nantinya akan merosot.
"Saya juga berharap hal ini mudah-mudahan tidak berpengaruh dengan mental anak. Saya mengusulkan kepada dindik harus memberikan sanksi tegas kepada sekolahan yang melakukan kasus seperti ini. Nantinya dapat mengganggu psikologis anak," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015