Hingar-bingar panggung politik Indonesia akan mengerucut pada pelantikan Presiden Terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Terpilih, Jusuf Kalla (JK) yang sesuai rencana dilaksanakan 20 Oktober mendatang. Untuk menjalankan pemerintahan baru yang akan dilaksanakan pada periode 2014-2019 tersebut, pasangan Jokowi-JK banyak menuai pro-kontra dari masyarakat di Tanah Air. Mereka yang optimistis dengan rezim baru itu yakin pemerintah dapat merealisasi setiap program yang ditawarkan kepada masyarakat saat kampanye lalu. Namun, mereka yang pesimistis justru percaya bahwa era pemerintah Gus Dur akan terulang. Lebih tepatnya diprediksi terjadi pemakzulan di tengah-tengah pemerintahan Jokowi-JK yang dipercaya sebagian masyarakat mampu meneruskan pembangunan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Indikasinya yang pesimistis merujuk pada tirani parlemen yang "sapu bersih" untuk "pintu" impeachment itu. Adalah Eep Saefulloh Fatah yang tergolong optimistis bahwa pemakzulan Gus Dur tidak akan terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK, karena ada pemilihan langsung yang melibatkan rakyat. Sementara, Gus Dur diminta turun dari jabatannya karena pada saat memerintah ia tidak dipilih secara langsung. "Biasanya sebelum presiden diturunkan atau dimakzulkan, harus ada skandal yg melibatkan orang nomor satu di negeri ini," ujarnya saat berada di Surabaya, Jumat. Selain itu, jelas dia, ada faktor lain yang juga bisa memakzulkan presiden. Misalnya, dikarenakan adanya kegagalan kebijakan akibat presiden dinilai masyarakat tidak bisa mencapai target, kuatnya keberadaan oposisi, dan hal itu ikut didukung oleh gerakan yang kuat dari luar. "Sebagai contoh, disahkannya Undang-undang Pilkada beberapa waktu lalu bisa menurunkan pamor atau citra pemerintahan terkini. Jika tidak disikapi segera, kebijakan itu membuat kondisi masyarakat kian terancam karena tidak bisa memilih pemimpinnya," katanya. Untuk mengantisipasi hal itu, pesan dia, pada 100 hari pemerintahan baru Jokowi-JK idealnya segera membuat gebrakan khusus melalui sejumlah kebijakan dan hasilnya langsung dirasakan secara nyata oleh rakyat. Contoh, pemerintah bisa mengatur kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bisa menjadi salah satu cara rezim baru untuk membangun kekuatan besar. Penyebabnya, sampai sekarang kenaikan harga BBM sangat menyengsarakan rakyat. "Tapi, ini hanya satu isu dari satu paket yang lebih besar. Apalagi, selama ini negara memiliki beban subsidi hingga Rp400 triliun dan sebenarnya angka itu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain," katanya. Kini, harap dia, yang harus dilakukan pasangan Jokowi-JK adalah menyusun struktur anggaran supaya kenaikan harga BBM dapat menjadi tata kelola baru guna mengatur negara dengan lebih baik. Idealnya, harus ada infrastruktur baru yang dibangun dalam waktu dekat. "Selain itu, kebijakan lain yang perlu diwujudkan di antaranya kartu sehat, kartu pintar, dan kartu sejahtera di mana seluruhnya harus direalisasi dalam 100 hari ini," katanya.(*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014