Surabaya (Antara Jatim) - DPRD Kota Surabaya mengkritisi kebijakan baru pemerintah kota berupa program Penerimaan Bantuan Iuaran (PBI) sebagai pengganti dihapuskannya Surat Keterangan Tanda Miskin (SKTM), yang dinilai sebagai kebijakan yang terburu-buru.
"Apakah saat ini merupakan momentum yang tepat untuk perubahan kebijakan dari penghentian SKTM beralih ke PBI? Bagaimana kelak sinkronisasi dengan rencana kebijakan pusat yang akan menerapkan Kartu Indonesia Sehat? Apakah tidak bakal bongkar-bongkar kebijakan lagi?," tanya anggota DPRD Surabaya Adi Sutarwijono kepada Antara di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, hak warga miskin di Kota Surabaya tidak boleh terabaikan oleh hak pelayanan kesehatan karena Negara mampu menjamin hak mereka.
Selain itu, lanjut dia, di level strategi kebijakan, lanjut dia, haruslah disusun jelas skemanya. Tidak saja menyangkut goal/target, tetapi juga mesti dipastikan lancar prosesnya, yang tidak saja menyangkut bekerjanya antarorgan, unsur, sub sistem pemerintahan, tetapi juga dipayungi regulasi di semua jenjang/tingkatan agar tercipta kepastian kebijakan.
"Regulasi dan bekerjanya antarsub sistem menjadi wujud jelas kelancaran/ terhambatnya mekanisme pelaksanaan kebijakan," katanya.
Ia mengatakan kalau kebijakan SKTM, yang sudah dianut di Surabaya, kira-kira sejak 8 tahun lalu, kemudian didukung dengan slot anggaran yang kuat di APBD, dimana kebijakan SKTM dipayungi oleh Perwali, kemudian tiba-tiba dihentikan tentunya akan membuat kecewa warga.
Adi mengharapkan Pemkot telah dan dapat menjamin dan memastikan perubahan kebijakan dari SKTM ke PBI telah tepat dan bisa dijalankan lancar di lapangan, serta dengan target utama semakin menjamin hak kesehatan warga miskin.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya menekankan agar mempertahankan SKTM yang telah di-back up anggaran di APBD, di pihak lain ada BPJS, dan PBI berangsur-angsur diterapkan, yakni migrasi dari data warga miskin di Kota Surabaya ke PBI. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014