Bangkalan (Antara Jatim) - Himpunan Generasi Muda Madura (Higemura) menyarakan pemerintah pusat sebaiknya mengganti pimpinan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu, karena dinilai tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya mempercepat pembangunan di Pulau Madura.
"Ini demi kemajuan pembangunan di Pulau Madura, sebab sejauh ini pembangunan di Madura terkesan jalan di tempat dan yang jelas hal itu terjadi karena lemahnya kepemimpinan di badan khusus tersebut," kata Ketua Umum Higemura Muhlis Ali dalam rilisnya, Kamis.
Selama ini, peran badan khusus yang ditunjuk pemerintah dalam merealisasikan program pembangunan itu terkesan kurang bahkan cenderung lambat. Sejumlah rencana pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah sejak jembatan sepanjang 5,4 kilometer dioperasikan hingga kini belum terealisasi.
"Padahal, anggaran pembangunan untuk berbagai program infrastruktur itu telah ada dan BPWS tinggal melaksanakannya," kata Muhlis Ali.
Muhlis Ali menyampaikan beberapa alasan, terkait lambatnya realisasi program pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah melalui BPWS itu.
Pertama, pimpinan BWPS terkesan lemah dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat Madura, seperti para tokoh masyarakat, ulama dan instansi terkait di lingkungan pemkab di Pulau Madura. Baik di Bangkalan, Pemkab Sampang, Pamekasan ataupun di Pemkab Sumenep.
Lemahnya koordinasi dan pola pendekatan yang dilakukan pimpinan BPWS ini, menurut dia, akhirnya berdampak pada lambatnya realisasi program pembangunan pascaoperasional Jembatan Suramadu itu.
Mantan Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) asal Bangkalan ini lebih lanjut mengemukakan, masyarakat Madura sebenarnya merupakan masyarakat yang terbuka bahkan masyarakat yang siapp menyongsong industrialisasi seperti yang telah menjadi agenda besar pada program pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah pusat.
Kendatipun demikian, masyarakat Madura tetap menjunjung tinggi nilai dan tradisi lokal yang berkembang di Madura dan hal itu sebagai wujud dari sikap agamis dan "fanatisme kultural" dalam berupaya mempertahankan identitas diri dan identitas budaya masyarakat Madura.
"Maka, pola pendekatan yang perlu dilakukan pemimpin yang hendak berhubungan dengan warga Madura, tentu dengan pola pendekatan berbeda pula. Yakni harus memahami pola karakter orang Madura itu sendiri" terang Muhlis Ali.
Kedua, BPWS selama ini mengesankan sebagai lembaga elit yang cenderung melakukan koordinasi dengan pendekatan struktural. Padahal kekuatan kelompok informal di Madura sangat berpengaruh.
Sementara, pola-pola yang cenderung diterapkan pemkab di Madura yang selama sukses melaksanakan pembangunan dengan dukungan penuh masyarakat, karena pendekatan yang dilakukan tidak hanya secara struktural, akan tetapi juga secara kultural, yakni langsung kepala masyarakat.
"Kemampuan untuk melakukan itu semua tentunya terletak pada pimpinan BPWS itu sendiri," terang Muhlis Ali.
Oleh karenanya, Higemura meminta agar pemerintah pusat sebaiknya mempertimbangkan atau mengevaluasi pimpinan pada badan khusus itu.
Jika, orang yang mengelola BPWS tidak bisa memahami kultur dan karakter orang Madura, maka menurut Muhlis Ali, program baik pemerintah untuk memajukan pembangunan di Pulau Madura itu, tidak akan berjalan secara optimal. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014