Keselamatan dan kenyamanan bertransportasi, dambaan semua orang. Namun demikian, tidak jarang para pihak lalai atau justru mengabaikan terciptanya kondisi tersebut. Kita semua tentu sadar, kehati-hatian tidak bisa hanya berlaku untuk satu pihak. Kehati-hatian wajib dijalankan semua pihak, yakni semua pihak yang berinteraksi dalam sistem transportasi. Lebih khusus, dalam hal ini adalah sistem transportasi kereta api.
Memang, rasanya masih perlu kerja keras, sungguh-sungguh dan berkelanjutan agar harapan menciptakan keselamatan dan kenyamanan bertransportasi menjadi kenyataan. Ada unsur-unsur yang membentuk sistem transportasi, di antaranya Sumber Daya Manusia, sarana dan prasarana, serta sosialisasi terkait dengan undang-undang serta rambu-rambu yang harus ditaati bersama.
Apakah unsur-unsur tersebut selama ini luput dari pantauan, pengawasan, pemeliharaan dan lain-lain? Rasanya tidak. Sertifikasi, pengawasan, audit dan semacamnya, barangkali telah dilakukan. Penyediaan rambu-rambu, barangkali sudah cukup banyak. Bahkan, dampaknya cukup positif, tren kecelakaan dan korban semakin berkurang, walaupun belum sampai menekan pada titik nol, 'zero accident', seperti harapan banyak pihak.
Data Kementerian Perhubungan mencatat pada tahun 2011 ada 33 kali kecelakaan kereta api dengan korban 112 orang, sedangkan pada tahun 2012 jumlah kecelakaan turun menjadi 31 kali dengan jumlah korban 49 orang. Pada 2013, kecelakaan kereta api ada 32 kali. Dari 32 kecelakaan, satu-satunya kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa adalah di perlintasan kereta api Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan pada 9 Desember 2013 dengan tujuh korban jiwa.
Jadi, cukup tergambar adanya tren penurunan. Tapi, apakah penurunan tersebut berkorelasi positif dengan perilaku bertransportasi yang santun dan baik pula? Tampaknya masih harus diupayakan agar semua pihak peduli dan perhatian terhadap keselamatan, dan juga kenyamanan bertransportasi.
Kementerian Perhubungan, dan kami yakin semuanya, merindukan keselamatan bertransportasi menjadi sebuah budaya yang berkelanjutan, sebab keselamatan merupakan faktor mendasar yang tidak bisa ditawar dalam penyelenggaraan transportasi. Harus ada langkah dan perubahan pola pikir yang diikuti dengan sinergi di kalangan semua pemangku kepentingan.
Contoh kecil, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya, khususnya pasal 114 telah mengatur bagaimana pengemudi kendaran bermotor ketika melewati perlintasan kereta api dan jalan. Bahkan, Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Indonesia secara tegas menyebutkan bahwa pengguna jalan raya harus mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan raya. Apakah aturan ini sudah sepenuhnya ditaati? Ini bagian dari perenungan, harapannya agar ke depan lebih baik.
Pemanfaatan transportasi kereta api bagi suatu daerah kini bahkan bukan lagi sebagai alternatif, tapi solusi bagi padatnya lalu lintas di daerah tersebut. Kereta api dinilai sebagai transportasi yang aman, nyaman, hemat BBM, serta ramah lingkungan. Sebagai solusi, tentu diharapkan tidak menimbulkan masalah lain, seperti kerawanan kecelakaan maupun ancaman terhadap keselamatan bertransportasi. Contohnya, banyak munculnya perlintasan sebidang.
Barangkali sudah menjadi rahasia umum, munculnya perlintasan sebidang, khususnya yang tidak berpenjaga, menimbulkan kerawanan kecelakaan. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk, sudah pasti dibarengi dengan naiknya kebutuhan mobilisasi. Dengan demikian, pembukaan pintu perlintasan, terkadang dianggap sebagai solusi. Padahal, untuk membuka atau mengadakan pintu perlintasan sebidang, pasti ada prosedur yang harus dilalui, tidak sembarangan. Harus memperhatikan aspek keselamatan dan kenyamanan bertransportasi.
Jika perlintasan sebidang menimbulkan kerawanan kecelakaan, pemecahannya barangkali adalah membuat jalan layang (flyover). Tapi, pertanyaannya sekarang, siapa yang bertanggung jawab terhadap pembangunan 'flyover' ? Pertanyaan berikutnya, berapa banyak atau berapa panjang jalan layang yang harus dibangun, dan di daerah mana saja perlu dibangun?.
Memang, untuk menciptakan keselamatan, apalagi diikuti dengan kenyamanan dalam bertransportasi dibutuhkan biaya, kemauan dan disiplin. Semua pihak, semua pemangku kepentingan punya kewajiban berkontribusi terhadap terciptanya kondisi tersebut. Jika transportasi sebagai sistem, maka semua unsur dalam sistem, harus berkontribusi positif. Jika tidak, sistem transportasi yang aman dan nyaman, pasti masih jauh panggang dari api. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013