Tulungagung (Antara Jatim) - Kapolres Tulungagung, AKBP Whisnu Hermawan Februanto mencurigai pelarian dan upaya penyelundupan 106 pengungsi asal berbagai negara Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan dan Myanmar, Sabtu dinihari, melibatkan sejumlah oknum petugas.
"Indikasinya jelas, pergerakan mereka (imigran/pengungsi) ke arah Tulungagung sebenarnya telah terdeteksi sejak dari sana (Bogor/Jakarta), tetapi kenapa tidak langsung ditangkap," ujarnya saat memberikan keterangan pers ke sejumlah awak media di Mapolres Tulungagung.
Ia tidak menyebut secara spesifik oknum petugas dimaksud. Namun jika mengacu posisi para imigran yang sebelumnya ditampung di sebuah rumah tinggal yang disewa badan khusus urusan pengungsi PBB (UNHCR) ataupun International Organization of Migration (IOM), maka ucapan Whisnu mengarah pada oknum petugas yang berurusan dengan isu-isu keimigrasian dan pengungsi asing.
Whisnu juga menyentil kelalaian aparat hukum di sekitar wilayah pemberangkatan para pengungsi di Bogor dan Jakarta yang tidak mengambil tindakan preventif mencegah upaya penyelundupan tersebut sejak dini.
"Kalau melihat indikasi itu, bisa jadi memang melibatkan oknum orang dalam ataupun petugas," tandasnya.
Sinyalemen yang diungkapkan Whisnu, selaras dengan pengakuan Husain Ahmad, salah seorang pengungsi asal Myanmar yang ikut tertangkap dalam operasi penggerebekan 106 imigran gelap di sekitar kawasan Pantai Brumbun, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung, Sabtu dinihari.
Dalam sebuah perbincangan dengan koresponden Antara di lokasi penampungan sementara di Mapolres Tulungagung, Husain mengakui sebelumnya dia dan sejumlah pengungsi lain sempat tinggal di sebuah "homestay" yang di sediakan UNHCR di daerah Cisarua, Bogor.
Mereka bahkan cukup lama tinggal di Cisarua. Dari sekian banyak pengungsi yang mengaku pernah ikut tinggal di penampungan tersebut, mereka rata-rata mengaku sempat menginap selama tiga hingga lima tahun.
Namun dikarenakan tidak kunjung ada kepastian nasib menyangkut daerah tujuan yang akan dijadikan sebagai tempat suaka baru, mereka memutuskan untuk kabur bersama dan menyeberang ke Australia yang disebutnya sebagai tanah impian.
"Untuk bisa menyeberang (ke Australia) kami rata-rata membayar ke agensi (gelap) sebesar Rp20 juta hingga Rp30 juta per orang. Tapi khusus untuk saya gratis karena selama inis aya banyak membantu mereka (sindikat penyelundupan manusia perahu)," terang Husain Ahmad.
Husain menyebut agensi yang menjadi makelar pemberangkatan mereka adalah orang Srilanka namun tidak disebutkan namanya.
Makelar besar ini kemudian bekerja sama dengan sejumlah petugas serta menyewa orang-orang lokal untuk memuluskan upaya penyelundupan seperti barusan mereka jalani namun gagal.
"Apapun akan kami lakukan demi mendapat kehidupan yang lebih baik. Kalaupun sekarang ditangkap, nanti kami pasti akan mencoba kabur lagi karena kehidupan di penjara (rumah detensi imigrasi) tidak pernah jelas. Lebih baik kembali ke Bogor," sergah Thaviantharan Thusymaja andhan (22), pengungsi rasal Srilanka dalam bahasa campuran Indonesia-Inggris. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013