"Lha kalau diuji dengan undang-undang, ya masyarakat kecil akan jelas kalah, karena mereka nggak mungkin bisa masuk peradilan (yang mahal), jadi 'social justice' (pembelaan di luar peradilan) pas buat mereka daripada 'legal justice' (pembelaan di peradilan)". Ungkapan itu sering diucapkan Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Surabaya Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA itu ketika membela Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mangkal di sekitar rumahnya di lingkungan kampus B Unair dari penggusuran. Atau, ketika ia membela tukang becak di Jakarta yang akan diusir dari suatu kawasan, ketika ia ikut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dan ketika menjadi saksi ahli dalam sejumlah sidang perlawanan warga miskin kota melalui jalur hukum di pengadilan atau Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya itu, almarhum juga mempraktikkan kesahajaan dalam hidupnya. Tidak jarang, almarhum berjalan kaki dari rumah dinasnya di Jalan Dharmawangsa 3, Surabaya, ke kampus yang berjarak sekitar 400-an meter, atau almarhum suka naik becak. Namun, ungkapan dan kesahajaan itu takkan pernah ada lagi, karena guru HAM itu telah mengembuskan napas terakhir di RS St Elisabeth Semarang pada Senin (2/9/2013) pukul 07.10 WIB, akibat serangan stroke. Innalillahi... "Sejak enam tahun terakhir, kakak saya memang wira-wiri (pulang-pergi) Surabaya-Semarang, karena beliau mengajar di Undip," timpal adik kandung almarhum, Sritomo Wignjosoebroto, di rumah duka Jalan Dharmawangsa 3, Surabaya (2/9). Menurut aktivis mahasiswa era tahun 1970-an itu, kakaknya yang merupakan pendiri Fisip Unair Surabaya pada tahun 1977 itu meninggal dunia setelah dua kali terkena serangan stroke sejak enam bulan terakhir. "Awalnya, serangan stroke hanya mengenai mata beliau dan akhirnya membaik, tapi sebelum lebaran justru menyerang kakinya dan tanggal 26 Agustus lalu mulai ada keluhan mual hingga kritis akibat pembengkakan di otak kecil dan mengalami penyumbatan darah otak," paparnya. Akhirnya, kakaknya yang dikenal sebagai sosiolog hukum dan mengajarkan pentingnya hukum dari sisi keadilan atau bukan hukum secara yuridis formal itu pun tutup usia. "Senin (2/9) siang, jenazah almarhum dibawa ke Surabaya lewat jalur darat. Pukul 17.45 WIB, jenazah tiba dan disemayamkan di rumah duka dulu," tukasnya. Selasa (3/9) subuh, jenazah dibawa ke Masjid Nuruzzaman untuk dishalati dan akhirnya disemayamkan di Aula Fisip Unair untuk dilepas para kolega ke pemakaman di TPU Keputih, Surabaya. Prof Hotman Siahaan, sahabat sekaligus kolega di Departemen Sosiologi FISIP Unair mengaku banyak sekali sumbangsih dan kenangan yang ditinggalkan Soetandyo, baik di kehidupan personal dan pendidikan. "Di kehidupan personal, beliau yang menjadi wali nikah saya dulu. Selain itu, saya, Prof. Ramlan, dan Prof. Wirawan juga yang pertama kali diajak untuk mendirikan FISIP. Sangat personal sekali bahwa dulu FISIP didirikan dengan segala keterbatasan yang ada, Prof. Tandyo yang membimbing kita. Saya kira itu kenangan yang paling dalam," tutur Hotman. Hotman Siahaan yang juga dosen dan sekaligus Guru Besar Unair itu menganggap Soetandyo sebagai seorang guru yang memiliki pengabdian tinggi dalam pendidikan. "Dia guru saya, bahkan dia adalah co-promotor saya di S-3 dulu. Ia memberikan seluruh kesadaran intelektual bagaimana cara berpikir, memahami ilmu, dan menerobos kebekuan-kebekuan batas ilmu. Itu yang paling mendasar," kenangnya. Selamat Jalan, Prof Soetandyo.... Terima kasih atas segala ilmu dan teladan yang telah engkau berikan, semoga Allah SWT menerimanya sebagai kemuliaan di sisi-Nya, amin... (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013