Greget masyarakat untuk pulang kampung menjelang Idul Fitri mulai terasa. Pemesanan tiket kereta api, tiket pesawat terbang, tiket bus dan tiket angkutan umum lainnya, meningkat tajam. Bengkel-bengkel kendaraan juga kebanjiran rezeki, karena banyak masyarakat sudah menyiapkan kendaraannya untuk mudik. Udik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti daerah hulu sungai atau pedalaman, sedangkan mudik artinya pergi ke hulu sungai atau pedalaman. Namun, udik kini ada yang mengartikan pulang kampung, sementara mudik dipahami sebagai pulang ke kampung asal. Lain lagi dalam Bahasa Jawa yang memiliki "jarwo dhosok" dari mudik, yakni "mulih dhisik" yang artinya pulang dulu. Jadi, mudik merupakan kegiatan orang-orang yang pergi dari rumah atau rantau untuk kembali ke kampung halaman. Masyarakat di Nusantara dikenal memiliki budaya suka hidup berpetualang, mengembara dan merantau, baik bertujuan mencari penghidupan, kejayaan, maupun ilmu pengetahuan. Jadi, mudik menjadi momentum untuk berkumpul dengan sanak saudara yang terserak di perantauan. Mudik kemudian menjadi ritus budaya tahunan menjelang Hari Raya Lebaran. Kemajuan teknologi informasi berupa telepon pintar dengan berbagai fasilitas komunikasinya, tampaknya tidak mampu membendung minat masyarakat untuk mudik. Bertemu langsung itu rasanya tidak bisa digantikan dengan berkirim pesan melalui pesan singkat atau semacamnya. Pulang kampung menjadi sarana pelepas kepenatan jiwa setelah setahun berjuang memperoleh keberhasilan dan status sosial yang dicita-citakan ketika masa kecil. Karena itu, mudik juga menjadi kesempatan terindah untuk membuka lembar demi lembar nostalgia hidupnya. Mudik menjadi kebutuhan jiwa. Kampung tempat seseorang dilahirkan, bisa jadi juga tempat seseorang menghabiskan masa kanak-kanaknya. Bahkan, kampung juga menjadi tempat tinggal sanak saudara, handai taulan, tetangga dan lingkungan yang diakrabi sebelum seseorang merantau. Tempat yang seperti ini tentu menjadi tempat yang berkesan, sehingga tidak jarang menimbulkan kerinduan yang menggelora. Perpisahan yang lama dengan lingkungannya, pasti memberikan spirit untuk kembali, untuk menyambung tali kasih dan tali sitaurahmi. Idul Fitri menjadi momentum terindah untuk saling menjalin tali kasih. Idul Fitri momentum untuk bermaaf-maafan, ber-halal bihalal. Tradisi anjangsana dari rumah saudara satu ke saudara yang lain, menjadi bukti nyata upaya untuk terus menjalin tali silaturahmi tersebut. Mudik memang bukan sekadar pergerakan manusia dari suatu tempat (kota) ke tempat lainnya (desa atau kampung) untuk melepas rindu. Tapi, mudik mengandung aspek-aspek lain yang juga harus dipahami selain perspektif spiritual religius di atas. Aspek itu di antaranya aspek sosial ekonomi. Dilihat dari aspek ini, mudik mempunyai efek positif dan negatif. Efek positif dari ritual tahunan mudik adalah adanya aliran uang dari kota ke desa yang dibawa pemudik. Dengan demikian, perekonomian di desa lebih dinamis. Tapi, di balik itu ada efek negatif yang mestinya tidak perlu terjadi, yaitu pamer. Pemudik, meski tidak semua, cenderung bergaya hidup glamour. Penampilan seperti itu menjadi perangsang bagi warga kampung untuk turut merantau ke kota. Warga desa menganggap bahwa cara mudah menaikkan kesejahteraan ekonomi adalah bila pergi ke kota. Arus urbanisasi tak bisa dicegah. Celakanya lagi, cara-cara instan untuk memperoleh kesenangan dan kesejahteraan ekonomi seperti itu bisa menyeret seseorang untuk bertindak semaunya, tidak mengindahkan norma dan aturan yang ada. Materi menjadi yang terpenting. Hasil menjadi yang utama. Cara-cara seperti itu jelas merupakan cara-cara yang mengabaikan proses. Bukankah proses itu penting? Bukankah kesuksesan harus diraih dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas ? Bukankah nilai, perjuangan, norma, aturan juga harus diikuti? Selamat mudik, selamat berlebaran.... (*).

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013