Ujian Nasional (UN) yang menandai berakhirnya kegiatan belajar mengajar bagi siswa-siswi kelas VI (SD), IX (3 SMP) dan XII (3 SMA) seolah menjadi irama yang begitu mengkhawatirkan, bahkan menjadi sebuah ketakutan akan melorotnya prestasi akademik yang diukur dari nilai UN itu sendiri. Persiapan demi persiapan dilakukan secara simultan dan berbagai upaya serta cara dilakukan oleh seluruh komponen yang bersentuhan dengan prestasi siswa, seperti guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, Kemendikbud, orang tua dan siswa itu sendiri. Upaya yang dilakukan dan ditempuh agar pelaksanaan UN lancar dengan prestasi gemilang, tidak hanya pemantapan materi di sekolah, siswa juga berupaya memperdalam materi yang diujikan dengan les di lembaga bimbingan belajar hingga privat, beberapa kali diselenggarakan try out, baik yang diselenggarakan sekolah, lembaga pendidikan maupun tingkat kota/kabupaten. Tidak hanya kerja keras dan upaya secara lahiriah semata, tapi juga upaya-upaya batiniah dengan doa yang tiada henti, istighatsah hingga puasa (bagi yang Muslim). Bukan hanya siswa dan guru yang kelabakan dan terus berupaya, tapi juga orang tua. Namun, yang menjadi pertanyaan, sebegitu menakutkankah yang namanya UN, sehingga semua gelisah, semua khawatir, semua takut dengan "hantu" yang bernama UN. Bahkan, ada sekolah yang mencoba mencari cara agar seluruh siswanya lulus dengan nilai memuaskan, meski cara-cara yang dilakukan jauh dari kata terpuji. Kekhawatiran dan ketakutan akan prestasi siswa yang "jeblok" itu justru membuka peluang bagi orang-orang tidak bertanggung jawab. Mereka "menjual" dan menyebarkan kunci jawaban yang seharusnya tidak perlu ditanggapi oleh semua pihak, terutama siswa-siswi peserta ujian. Isu semacam itu sudah ada sejak zaman orang tua kita, kakek moyang kita, dan bahkan kebaikan dan keburukan itu sama-sama ada sejak Nabi Adam AS dan Ibu Siti Hawa turun ke jagat ini. Memang, siapapun berharap, orang tua terhadap putra-putrinya, guru terhadap anak didiknya, mereka bisa meraih hasil (nilai) UN yang memuaskan, meski sesungguhnya UN hanya sebagai perantara untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi, baik itu di SMP, SMA maupun perguruan tinggi, sebab masih ada tujuan yang lebih besar lagi, meski tidak terlihat secara kasat mata. Hasil UN yang tertulis dalam lembar akademik (rapor maupun ijazah), sesungguhnya bukanlah sebuah tujuan akhir, karena mengubah perilaku anak didik, dari yang tidak baik menjadi baik, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu dan sikap-sikap (afektif) itulah yang terpenting. Apalagi, belajar juga tidak mengenal usia, kasta, strata, bahkan waktu (long life education). Sebenarnya, dalam UN yang menjadi ritual rutin tahunan dan menghabiskan dana miliaran rupiah itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi ditakutkan. Selama kita yakin akan kemampuan anak didik kita maupun putra-putri kita, pasti semua yang diharapkan akan terwujud. Belajar sungguh-sungguh, berdoa pada Allah dan kejujuran dalam mengerjakan soal adalah kunci untuk menghilangkan rasa khawatir kita, rasa "grogi" dan takut kita terhadap apa yang namanya UN, bahkan Insya Allah prestasi yang diraih anak-anak bisa lebih bagus dari yang kita harapkan. Jadi, UN itu penting, tapi jujur itu jauh lebih penting... UN itu penting tapi percaya pada kemampuan diri sendiri itu jauh lebih penting... (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013