Setiap tahun, menjelang datang Hari Raya Idul Fitri, puluhan juta orang bergerak meninggalkan kota-kota besar, dengan arah yang sama, menuju kampung halaman. Pergerakan yang menguras energi, psikologis dan tentu saja dana itu bukan sekedar bagaimana mereka yang telah lama merantau, berpesta merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Di dalamnya memiliki makna atau nilai-nilai dari kultural hingga ritual. Guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Abdul Munir Mulkhan menggambarkan bahwa tradisi mudik merupakan gerakan massal yang tidak ada tandingannya. Sementara budayawan Prof Dr Ayu Sutarto memandang bahwa mudik adalah tradisi yang memiliki makna ritual. Guru besar Universitas Jember itu menggambarkan jutaan manusia yang berbondong-bondong mudik itu sebagai gerakan kembali ke "pusat". "Keluarga tempat kita berasal itu adalah pusat. Jadi mereka yang merantau ke mana-mana, pada titik tertentu, yakni Lebaran, kembali lagi untuk menyambung ikatan batin," tuturnya. Di pusat itulah para perantau bersilaturrahim dan saling menyatakan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Mereka menyatakan rasa syukur itu dengan saling memaafkan. Mereka, katanya, kemudian berbagi, bukan sekedar uang hasil memeras keringat ketika dirantau, tapi juga kebahagiaan. Berbagi kebahagiaan itu yang tidak bisa diukur dengan parameter apapun, apalagi materi. "Keluarga yang di tempat asal tentu merindukan kedatangan para perantau dan para perantau juga merindukan mereka," kata pria asal Pacitan ini. Menurut dia, sangat tidak arif jika mudik yang menjadi tradisi khas umat Muslim Indonesia itu dipersoalkan karena dianggap hanya menghabiskan uang yang dikumpulkan selama setahun. "Jangan hanya dilihat dari aspek ekonomi seperti itu. Ini adalah tradisi bangsa Indonesia yang luar biasa dan negara harus melayani dengan baik pada rakyatnya yang sedang melaksanakan ritual besar ini. Tradisi ini tidak ada di tempat lain," tukasnya. Ia mengimbau pemerintah untuk betul-betul memberikan rasa nyaman dan aman kepada para pemudik. Pemerintah harus memberi perhatian besar karena mudik ini memiliki nilai silaturrahim tinggi untuk saling memaafkan. "Di tengah situasi yang dipenuhi pertengkaran, tradisi mudik ini memberikan sesuatu yang lain karena semua mau meminta maaf dan memaafkan," papar Ayu Sutarto. Ia sendiri mengaku masih tetap mempertahankan tradisi mudik ke Pacitan. Apalagi sang ibu dan keluarga lainnya masih ada. Tak ketinggalan dalam mudik itu ia berziarah ke makam leluhurnya. "Ziarah ini bukan masalah syirik. Ini dalam rangka mendekatkan emosional kita dengan para leluhur. Yang lebih penting lagi adalah mengingatkan bahwa kita juga akan menuju ke alam kubur juga," katanya. Konsep berbagai ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh almarhum Prof Buya Hamka yang berpesan agar tidak ada monopoli kebahagiaan saat datangnya Idul Fitri. "Distribusikan kebahagiaan itu kepada mereka yang memerlukan. Santunilah yang tidak mampu, tolonglah yang lemah dan bebaskan yang menderita," kata Hamka seperti dikutip Sukidi dalam buku "Pesan Damai Idul Fitri". Masih dalam buku yang sama, Abdul Munir Mulkhan mengemukakan bahwa prosesi mudik Lebaran seyogyanya dikembangkan sebagai memudikkan cinta kasih bagi sesama, bebas dari batas kultural dan struktural keberagamaan dan juga etnisitas. "Dengan demikian, tradisi mudik menjadi sebuah prosesi kembalinya manusia pada jati diri dan hakikat kemanusiaan yang manusiawi," ujarnya. Sementara pengamat budaya dan keagamaan dari Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri Jember Muhibin, MSi mengemukakan bahwa mudik bukan merupakan tradisi dari masyarakat yang terbelakang. "Bukan berarti orang di negara lain yang tidak memiliki tradisi mudik massal seperti ini lebih maju dari negara kita," kata mahasiswa S-3 kajian budaya dan media di UGM Yogyakarta ini. Menurut dia, ada perbedaan mendasar antara budaya Barat yang individual dengan budaya komunal bangsa Indonesia. Karena itu keduanya tidak bisa diperbandingkan, apalagi didudukkan satu lebih tinggi dari lainnya. "Ini juga ada di ajaran agama agar setiap menghadapi persoalan, umat Islam harus melibatkan orang tua atau mertua. Ini kan persoalan emosional umat Muslim untuk berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman," tuturnya. Ia mengemukakan bahwa mudik adalah praktik budaya yang tidak bisa ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim. Pada saat mudik, katanya, masyarakat kembali merajut nilai-nilai kekeluargaan yang selama banyak tergerus oleh keadaan atau kondisi yang berjauhan. Menurut dia, sebetulnya di era global saat ini, komunikasi dengan keluarga itu bisa dilakukan lewat perangkat teknologi seluler. Namun, kecanggihan teknologi komunikasi tidak bisa menggantikan mudik itu sendiri. "Mudik itu ada rasa emosional yang tidak bisa diwakili dengan teknologi, tapi harus bertemu langsung dengan keluarga. Perasaan manusia tidak bisa diwakili oleh teknologi," ujarnya. Ia mengemukakan bahwa mudik yang kemudian saling bermaafan juga bisa meluluhkan hati seseorang. "Misalnya kita punya salah pada seseorang, kemudian kita datangi, apalagi di suasana Lebaran, pasti hatinya luluh," katanya. (*)
Mudik, Tradisi Kembali ke "Pusat"
Sabtu, 18 Agustus 2012 15:39 WIB