Surabaya (ANTARA) - DPRD Surabaya mengusulkan kepada Pemerintah Kota Surabaya supaya memiliki alat penyedot sedimen di saluran sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan banjir yang kerap terjadi.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Achmad Nurdjayanto saat dikonfirmasi di Kota Surabaya, Rabu menilai pemerintah kota Surabaya juga harus memikirkan perawatan gorong-gorong atau aluran air yang sudah dibangun.
"Dimana sering kali daerah yang sudah dilakukan pembangunan saluran ternyata masih juga mengalami banjir," katanya.
Dirinya mengusulkan terobosan kepada pemerintah kota untuk segera memiliki alat penyedot sedimen untuk membersihkan saluran air secara efektif dan efisien.
"Dengan melakukan perawatan pemkot juga bisa memiliki data kondisi saluran sehingga langkah-langkah preventif bisa diambil dengan cepat ketika terjadi kendala," ucapnya.
Achmad menjelaskan permasalahan banjir sebenarnya telah ditangani sejak lama, termasuk dengan pembangunan box culvert yang kini sudah hampir merata di 80 persen wilayah Surabaya. Namun, ia menekankan pentingnya perawatan rutin terhadap saluran tersebut untuk mengurangi sedimentasi yang mempengaruhi volume air.
"Hari ini, pembersihan saluran masih banyak mengandalkan tenaga manusia. Untuk kota sebesar Surabaya, cara ini sudah tidak relevan. Pemkot perlu berinovasi dengan menyediakan mesin penyedot lumpur (Sedimen) yang lebih efisien. Idealnya, setiap kelurahan memiliki satu unit yang dapat digunakan secara bergilir untuk membersihkan saluran di tingkat RW," ujarnya.
Achmad mengungkapkan bahwa keberadaan alat penyedot sedimen tidak hanya mempercepat penanganan banjir tetapi juga memastikan sedimentasi di saluran dapat diminimalkan. Ia mencontohkan model alat penyedot yang bergerak, seperti kendaraan vakum, yang mampu membersihkan lumpur dari saluran secara langsung.
"Biaya untuk pengadaan alat ini tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan membangun box culvert baru atau meninggikan jalan. Dengan adanya alat ini, perawatan saluran existing yang sudah ada juga bisa lebih maksimal," ujarnya.
Ia juga menegaskan pentingnya alat penyedot sedimen ini sebagai salah satu solusi jangka panjang yang harus segera diwujudkan. Mengandalkan tenaga manusia di tengah meningkatnya intensitas hujan dan jumlah titik banjir sudah tidak memadai lagi.
"Masih ada nya daerah yang tergenang air waktu hujan bisa jadi bukan karena masalah koneksitas saluran, tapi masalah perawatan dan tinggi nya sedimen. Jika dibiarkan tanpa inovasi, potensi kerugian akibat banjir akan terus meningkat dan membebani anggaran kota di masa depan," tuturnya.
Menurut Achmad, anggaran sebesar Rp1,4 triliun yang disampaikan oleh pak wali kota yang dialokasikan untuk penanganan banjir harus digunakan secara efektif.
Ia berharap sebagian anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk pengadaan alat penyedot sedimen, sehingga pemkot memiliki solusi yang lebih praktis dan hemat biaya.
"Beberapa daerah di Indonesia ini juga sudah memiliki alat itu, bahkan Kementerian PU juga sudah memiliki alat itu," ujarnya.
Achmad juga menyoroti pentingnya normalisasi saluran primer yang tertutup, seperti di kawasan Menur dan Banyu Urip.
Ia menilai bahwa tenaga manusia sudah tidak memungkinkan untuk menangani saluran besar semacam itu.
"Volume air di saluran besar sering kali berkurang akibat sedimentasi tinggi, sehingga air meluber ke jalan. Harapannya, pemkot segera mengambil langkah inovatif dengan menggunakan alat modern untuk membersihkan saluran tersebut. Alat ini juga tidak akan mubazir karena bisa digunakan untuk berbagai keperluan perawatan lainnya," ujarnya.
Selain alat penyedot sedimen, Achmad juga mengusulkan pembuatan sumur vertikal sebagai tempat untuk menampung air hujan sehingga mampu mengurangi debit air dan men-delay air masuk ke saluran.
Ia menegaskan bahwa sumur vertikal ini bukan sumur resapan yang hanya berdiameter kecil namun, memiliki sumur diameter besar seperti pada sumur umumnya yang berfungsi sebagai penampung air ketika hujan dan hydrant ketika musim kemarau.
"Pemkot bisa membuat sistem pipa resapan vertikal, seperti yang dilakukan di Jepang. Pipa vertikal dengan kedalaman 20 meter bisa menjadi solusi yang lebih cepat dan efektif. Biayanya juga lebih hemat karena tidak memerlukan pembongkaran saluran besar," katanya.