Menghadapi ujian nasional yang akan digelar mulai 16 April untuk SMA dan sederajat, mengingatkan kita pada kasus Siami, orang tua siswa SDN Gadel II Surabaya. Siami sempat diusir oleh warga di sekitar tempatnya tinggal hanya karena membongkar adanya contek massal UN pada 2011. Ia, Siami yang sejatinya ingin menegakkan kebenaran itu akhirnya menjadi "salah" di mata masyarakat di sekitarnya. Peristiwa di SDN Gadel II menunjukkan bagaimana besarnya keinginan semua pemangku kepentingan agar para siswa lulus UN, entah bagaimana caranya. Para guru, entah disadari atau tidak, telah mengajarkan moral untuk tidak perlu jujur untuk mencapai sesuatu bernama lulus. Banyak alasan mengapa para guru kemudian menolerir penyimpangan itu. Mulai dari kasihan kalau anak didiknya tidak lulus. Proses kasihan yang keliru ini cukup beralasan karena negara tidak bisa menjanjikan apa-apa bagi anak lulusan setingkat SMA. Jangankan tidak lulus, lulus saja tidak menjamin masa depan yang lebih baik. Banyak pula cara yang dilakukan oleh insan pendidikan untuk "membantu" siswa lulus UN. Salah satunya yang dilakukan oleh guru-guru di SDN Gadel II Surabaya. Cara lainnya adalah pembiaran terhadap anak-anak untuk saling bekerja sama mengerjakan soal. Cara lain yang lebih sulit adalah membocorkan soal. Bahkan, telepon seluler juga menjadi salah satu alat dalam praktik kecurangan ini. Para guru dan elemen lain dalam pendidikan telah melupakan hakikat dasar pendidikan, yakni untuk mendidik karakter yang baik bagi peserta didik. Guru, ibarat simakalama. Dibiarkan berjalan jujur, siswa banyak tidak lulus, dibiarkan tidak jujur bertentangan dengan nurani. Saya yakin semua guru masih memiliki nurani, karena kejujuran telah ditanamkan sejak pendidikan, baik saat SPG/PGA/SGO ataupun saat mereka kuliah. Situasi politik di negeri ini yang masih berkutat pada watak dasarnya untuk kekuasaan juga ikut memperkeruh pelaksanaan UN. Hasil UN dijadikan salah satu tolok ukur bagi kepala daerah untuk mencari nama. Karena itu kepala daerah menargetkan daerahnya agar siswa lulus 100 persen. Tidak jarang, cara-cara pemenangan di dalam politik juga digunakan untuk "pemenangan" di UN. Semua bentuk penyimpangan ini telah diupayakan untuk ditekan oleh pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Saat ini, dibuat sistem soal lima paket untuk menghindari kerja sama pengerjaan soal. Awalnya soal UN dibuat seragam sehingga setiap anak bisa bekerja sama dengan teman sebangku atau di belakang dan di depannya. Kemudian dibuat dua paket soal yang juga masih potensial terjadi kecurangan. Untuk menekan kebocoran soal, Kemdikbud mengeluarkan kebijakan bahwa percetakan soal UN tidak lagi di tiap provinsi, melainkan ada di empat titik, yakni di Jakarta, Surabaya, semarang dan Riau. "Dengan semakin rampingnya jumlah perusahaan dan lokasi pencetak soal UN, maka akan memudahkan bagi kami untuk mengawasi bila sampai terjadi kebocoran soal. Kami akan segera mengetahui, misalya kebocoran di provinsi A, maka bisa segera ditelurusi dari wilayah distribusi yang mana," kata Mendikbud Mohammad Nuh. Mendikbud juga sudah mengingatkan agar semua pihak hendaknya tidak memaksakan kelulusan UN 100 persen. "Memasang target boleh saja, tapi jangan dipaksa lulus 100 persen. Jangan sampai pemda menghalalkan segala cara, dan UN harus dilaksanakan sesuai dengan aturan agar kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan," katanya. Namun, semua upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menekan kecurangan ini, setiap tahun belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan berarti. Karena itu kemudian muncul gerakan agar UN segera dihapus saja. Apalagi, UN tidak menjadi penilaian komprehensif terhadap bentuk-bentuk kecerdasan anak. Anak yang lemah dalam kecerdasan menghafal, padahal ia memiliki kecerdasan lain, seperti seni atau kinestetik (gerak), tidak mendapatkan panggung untuk menjadi juara. Terhadap tuntutan ini, pemerintah bergeming. UN jalan terus. Bahkan, sempat beredar kabar bahwa mata pelajaran yang di-UN-kan akan ditambah, yakni pelajaran agama. Ini tentu akan bertambah runyam karena pelajaran agama yang sejatinya menanamkan kebiasaan dan moral akan direduksi menjadi sekedar hafalan yang hanya dipertanggungjawabkan lewat UN. Padahal menghadapi situasi bangsa yang saat ini dililit berbagai persoalan, terutama korupsi tak berkesudahan, dibutuhkan munculnya calon-calon pemimpin, --tentunya tumbuh dari sekolah-- yang berkarakter baik. Kalau begitu, mengapa kita tidak meng-UN-kan pelajaran karakter saja. Tolok ukurnya bukan bagaimana siswa mampu menjawab soal, tapi bagaimana mereka memiliki mental yang kuat dan jujur dalam menggapai sesuatu. Untuk ini kita memang harus mau repot karena penilaian terhadap karakter tidak bisa dikerjakan dengan komputer, seperti yang dilakukan UN saat ini. Mario Teguh, motivator, pernah berkata, kurang lebih begini, "kalau orang tua tidak bisa membahagiakan anak, minimal tidak membuat anak-anak menderita". Dalam konteks luas, saya bahasakan begini, "kalau negara belum bisa memberikan harapan rakyat, maka janganlah sengsarakan mereka". (*)
Meng-UN-kan Pelajaran Karakter
Minggu, 15 April 2012 8:55 WIB