Belum reda rasanya kegaduhan yang mengiringi rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, hingga akhirnya dibatalkan, kini kita kembali dicengangkan dengan insiden penamparan yang konon dilakukan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asazi Manusia (Wamenkumham) Deny Indrayana, terhadap salah seorang sipir di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pekanbaru. Padahal, dalam pekan-pekan sebelumnya berbagai skandal politik maupun peristiwa hukum seakan silih berganti datang dan menciptakan kehebohan yang luar biasa. Entah kegaduhan macam apalagi yang akan muncul berikutnya. Begitu banyak persoalan yang muncul, atau memang sengaja dimunculkan, sehingga membuat masyarakat kita menjadi jenuh. Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang salah atau siapa yang benar dalam satu peristiwa politik tertentu karena sekat yang memisahkan antara keduanya terlalu tipis. Masing-masing pihak merasa benar. Masing-masing juga menyampaikan aspirasi pembenaran dengan mengatasnamakan hukum dan kepentingan publik. Namun pada akhirnya, semua hanyalah menjadi komoditas politik bagi kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk menguatkan eksistensinya di satu sisi dan melemahkan pihak lainnya di sisi berbeda. Pada kasus BBM misalnya, hiruk pikuk antara kubu yang pro maupun kontra pengurangan subsidi pada akhirnya justru mengaburkan esensi tujuan masing-masing supaya bisa sama-sama terakomodasi: harga tidak naik tetapi anggaran untuk menyubsidi BBM juga tidak membengkak. Apakah gagasan itu tidak mungkin? Apakah dalam skenario itu hanya diperkenankan memilih satu opsi dan mengabaikan kemungkinan lain? Tentu saja tidak. Setidaknya, semangat untuk mencari solusi alternatif bagi ihtiar mengurangi risiko membengkaknya subsidi anggaran untuk bahan bakar jenis premium dan solar saat ini terus diupayakan, baik oleh pemerintah melalui lembaga terkait maupun oleh berbagai kalangan nonpemerintah. Sementara sejumlah konsep dan wacana dihembuskan setelah sidang paripurna DPR RI yang berujung pada pembatalan rencana pemerintah menaikkan harga BBM untuk sementara waktu, media massa sebagai pilar demokrasi keempat mulai menyorot ketidakpekaan para pemilik mobil mewah maupun kalangan industri yang tega menggunakan premium/solar bersubsidi untuk kepentingan pribadi. Gerakan untuk menghemat BBM ataupun pembatasan terhadap kendaraan mewah agar tak ikut menikmati BBM bersubsidi memang belum dilakukan, tetapi setidaknya bibit-bibit menuju ke sana telah dimulai. Semangat yang sama seharusnya juga bisa diberlakukan dalam penanggulangan narkoba di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan (LP). Insiden penamparan yang dituduhkan dilakukan oleh Wamenhumham ataupun ajudannya saat melakukan sidak di LP Pekanbaru semestinya ditanggapi dan disikapi secara proporsional. Ya, tindakan tersebut berlebihan, tetapi jangan kemudian nila yang hanya setitik ini sampai mengaburkan fokus pemberantasan narkoba sebagaimana misi yang diemban BNN. Ingat, sesuai namanya, lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat karantina sekaligus pembinaan mental bagi pelaku pidana. Keberadaan LP dengan demikian adalah untuk mengontrol secara dekat aktivitas para pelaku pidana dengan membatasi kebebasan ruang gerak mereka, bukan sebaliknya. Jangan sampai tembok tebal nan tinggi yang mengelilingi lembaga pemasyarakatan kita pada akhirnya justru menjadi tempat istimewa bagi para pelaku pidana, khususnya sindikat narkoba, untuk membangun kembali "kerajaan hitam" mereka. Apalagi jika sampai peredaran narkoba tersebut difasilitasi oleh oknum-oknum petugas LP. Jangan sampai tembok tebal nan tinggi yang mengelilingi lembaga pemasyarakatan kita pada akhirnya justru membuatnya tidak bisa disentuh oleh lembaga pengawasan eksternal semacam BNN dan kepolisian. Kalau itu sampai terjadi, LP yang seharusnya menjadi tempat karantina bagi para pelaku pidana tak ubahnya seperti negara dalam negara. Tertangkapnya sejumlah sipir di LP Bali hingga terbongkarnya sindikat peredaran narkoba kelas kakap yang diotaki oleh narapidana di LP Nusakambangan, harusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kejahatan bisa terjadi dimana saja, bahkan di tempat dimana seharusnya menjadi lokasi pembinaan bagi para pelaku pidana itu sendiri. Semangat inilah yang seharusnya terus kita dorong agar bangsa ini bisa terus bergerak maju, bukan malah membuatnya seolah menjadi sensasi berlebihan yang kemudian hanya menjadi mainan bagi kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk melanggengkan ambisi politik mereka. Semoga, kita semua semakin cerdas dalam menyikapi berbagai hiruk pikuk politik yang sepertinya masih akan terus terjadi dan terjadi, sampai Pemilu 2014. (*)
Negeriku yang Gaduh
Senin, 9 April 2012 14:04 WIB