Dewan Persoalkan Pembelian Obat RSD Pacitan
Jumat, 20 Januari 2012 19:56 WIB
Pacitan - Sejumlah anggota DPRD Pacitan, Jawa Timur, mempersoalkan pembelian obat senilai belasan juta rupiah di rumah sakit daerah (RSD) setempat pada kurun tahun 2010-2011, karena tidak digunakan sehingga mubazir dan telah kedaluwarsa.
"Kami menemukan kasus ini justru setelah membaca hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2011 yang dikeluarkan pertengahan akhir November lalu," tutur salah seorang anggota DPRD Pacitan, Tejo Asmoro, Jumat.
Ia bersama sejumlah anggota dewan lain di Komisi D kemudian berinisiatif membentuk panitia kerja (panja) obat, khusus untuk menelusuri adanya dugaan kesalahan perencanaan dalam pembelian obat di RSD Pacitan selama kurun 2010-2011.
Kegiatan pembelian yang kini tengah mendapat sorotan itu terjadi pada pengadaan tahun 2010 senilai Rp10.350.085 dan pada Januari hingga September 2011 senilai Rp7.859.002.
Menurut Tejo, obat yang sudah dibeli tetapi tidak digunakan sehingga masa pakainya habis menunjukkan perencanaan yang kurang baik, utamanya dalam hal memprediksi penyakit yang kemungkinan timbul sepanjang tahun.
Selain itu, masalah tersebut muncul karena belum terpenuhinya sistem informasi manajemen instalasi pelayanan farmasi dan sarana pendukungnya.
Menurut analisis Tejo Asmoro, kesalahan terjadi akibat struktur organisasi rumah sakit belum menyesuaikan dengan BLUD (badan layanan umum daerah).
Analisis itu kemudian dibantah oleh Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) RSD Pacitan, Boedi Hartojo. Menurutnya, penyebab kedaluwarsanya obat yang sempat menumpuk karena semakin meningkatnya pelayanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas.
"Perencanaan kami sudah bagus. Tapi, karena pola penyakit yang berubah-ubah maka ada obat yang akhirnya menjadi kedaluwarsa," kilah Boedi Hartojo.
Hal senada disampaikan Kepala Instalasi Farmasi RSD Dyah Prastiwi Adi. Menurut dia, obat-obat yang kedaluwarsa dibeli sebelum tahun 2010, salah satu jenisnya adalah kinina untuk penderita malaria. Obat jenis ini tidak terserap karena warga yang terjangkit memilih berobat di Puskesmas yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Terpisah, Direktur RSD Sri Yuswanti Zaenuri mengatakan obat yang kedaluwarsa itu tidak dibeli pada kurun dua tahun tersebut, namun merupakan pengadaan tahun 2003 ke atas.
Obat-obat yang tidak terpakai tersebut kini sudah dimusnahkan karena tidak dapat dikembalikan lagi.
Sri Yuswanti mengakui, kinerja bidang farmasinya tengah disorot dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK. "Penyatuan apotek dengan RSUD untuk menjadi BLUD baru berjalan dua tahun, jadi butuh penyesuaian," ujar Sri Yuswanti.