Surabaya (ANTARA) - Bangsa Indonesia patut bersyukur karena mempunyai ideologi paling mengakar dibandingkan negara lain. Ideologi bangsa kita berbeda dengan produk negara lain, sedangkan Pancasila adalah ideologi yang merupakan karya bersama.
Kiai kampung populer, seperti KH Anwar Zahid (Bojonegoro, Jawa Timur), Bu Nyai Hj Mumpuni Handayayekti (Cilacap, Jawa Barat), Agus Muhammad Iqdam Kholid (Gus Iqdam) pimpinan pengajian Majelis Sabilu Taubah Blitar, bahkan sampai Cak Ukil (M Sulukhil Amin, guru ngaji di PP Tebuireng Jombang), sering menguji jamaahnya, apakah hafal teks Pancasila atau tidak.
Tidak hanya tokoh, seorang TKI Bernama Siti merawat anak di Taiwan Sha Wang yang telantar rela merawat anak majikannya itu karena tertanam jiwa Pancasila di dalam jiwanya. Kalau bukan karena sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak mungkin Siti peduli kepada anak majikan di Taiwan yang justru sudah diabaikan oleh orang tuanya.
Ada lagi, umat Islam yang menyambut kedatangan 24 biksu Thudong asal Thailand yang melakukan perjalanan spiritual dengan berjalan kaki ke Candi Borobudur dan Candi Muaro Jambi dalam rangkaian Waisak Nasional 2568 BE/Tahun 2024. Tidak mungkin hal itu terjadi kalau tidak ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk toleransi umat beragama lain.
Fakta dari mengakarnya Pancasila yang sekaligus menjadi falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara itu membuktikan bahwa Pancasila bukanlah ideologi "kaleng-kaleng" (remeh).
Bahkan, Wamenhan AS 2001 Paul Wolfowitz menilai Indonesia akan menjadi negara yang kokoh dalam menghadapi pertarungan regional dan global, karena negara kita memiliki ideologi yang mengakar di hati bangsanya, yakni Pancasila.
Jadi, Pancasila adalah modal yang tepat sebagai landasan bersama menuju satu abad Indonesia di 2045, termasuk tepat bagi kaum beragama. Bagi Bung Karno (Ir Soekarno), Pancasila itu untuk merajut hubungan antar-anak bangsa. Bagi umat Islam, terutama umat NU, Pancasila itu bukan hanya merajut bagaimana berbangsa dan bernegara, tetapi juga merajut hubungan transendental dengan Sang Maha Pencipta Allah SWT.
Karena itulah, mentor utama pendidikan Ke-NU-an KH Abdul Mun'im Dz dalam "Tumpengan Harlah Pancasila" di Surabaya pada 1 Juni 2024 menegaskan bahwa kiai-kiai NU sudah "melampaui" Bung Karno dalam mengawal lahirnya Pancasila dan UUD 1945, bahkan sampai ada kelakar bahwa siapapun yang bisa mengamalkan dua sila saja dari Pancasila dengan konsisten, akan menjadi "wali". Intinya, Pancasila pun menjadi "milik bersama".
Saat Muktamar ke-13 di Banjarmasin pada tahun 1936 organisasi itu memutuskan bahwa Indonesia merdeka sebagai negara bangsa dan Indonesia merdeka berbentuk negara kesatuan, serta menolak khilafah yang tidak sesuai kondisi modern.
Sementara itu saudara kembar NU, organisasi Muhammadiyah memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Melalui keputusan muktamar ke-47 di Makassar pada 2015, Muhammadiyah memandang Pancasila sebagai "Darul ahdi wa syahadah" yang berarti negeri yang bersepakat dengan kemasalahatan.
Darul Ahdi ini juga dapat diartikan dengan dar assalaam atau negeri yang penuh dengan kedamaian. Sementara makna lain dari "wa syahadah" persaksian atau terbukti bahwa umat Islam harus berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama dalam kehidupan sehari-hari.
Ada juga cerita lain tentang kiai-kiai terkait Pancasila yang disampaikan oleh Kiai Mun'im Dz bahwa ketika bangsa ini ribut soal keharusan organisasi menggunakan Asas Tunggal Pancasila oleh Presiden Soeharto pada tahun 1980-an, agar bangsa ini terhindar dari paham ekstrem, baik ideologi kiri (komunis) maupun ideologi kanan (Islam) radikal.
Awalnya, banyak kiai yang menolak wacana dari Pak Harto tersebut, maka almaghfurlah KH Imron Hamzah (Ngelom, Surabaya) bersama kiai-kiai lain menghadap ke kiai yang sepuh dan hasilnya justru sangat mengejutkan, karena kiai dimaksud justru mengucap "Alhamdulillah". Kiai sepuh itu beranggapan bahwa hal itu berarti Pancasila (Indonesia) kembali kepada yang punya (umat Islam).
Pandangan bahwa "Pancasila kembali kepada umat Islam yang memang punya ideologi itu" agaknya merujuk pada perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan melibatkan Soekarno (Ketua), Moh. Hatta (Wakil), dan anggota (Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, dan AA Maramis).
Tokoh-tokoh Islam berperan dalam perumusan "Piagam Jakarta" sebagai inti dari Pembukaan UUD 1945, yang justru tidak memihak syariat Islam, asalkan Islam dapat berkembang leluasa. Itulah pandangan moderasi beragama yang memadukan kemajemukan, tapi perpaduan itu tidak meniadakan hak pribadi yang justru dirangkul secara harmonis.
Apalagi, Islam pun memahami perbedaan sebagai keniscayaan yang tak mungkin disatukan, kecuali dalam pola saling kenal.
Tantangan digitalisasi
Hanya saja, menjelang abad kedua Indonesia pada tahun 2045, persoalan yang sudah selesai terkait bentuk dan ideologi negara (Pancasila) dan persoalan kewilayahan, tetap saja muncul persoalan dalam bentuk digital, yang intinya sama untuk menyoal ideologi, bentuk negara, dan kemajemukan bangsa.
Misalnya, sila pertama, kedua, dan ketiga Pancasila menghadapi sikap dan praktik beragama secara ekstrem/radikal serta mengabaikan kemanusiaan serta kemajemukan bangsa melalui ajaran yang memaksakan tafsir agama dan ideologi melalui sarana digital.
Tidak hanya itu, sila keempat dan kelima Pancasila pun menghadapi tekanan politik, ekonomi, dan budaya secara digital. Pengaruh politik digital, ekonomi digital, dan budaya digital itu seakan-akan mempermudah kehidupan, namun sejatinya kita masuk pada jebakan orang atau negara lain untuk keuntungan sepihak.
Dulu, media massa adalah koran, majalah, radio, televisi, dan sejenisnya, tapi sekarang ada media sosial dengan segala bentuknya, yang tentu berbeda secara konten.
Kalau media massa itu selalu terjamin kebenarannya karena ada proses konfirmasi narasumber, kompetensi, kroscek, objektif, dan kepentingan publik, tapi media digital/medsos tanpa diikuti dengan semua proses yang benar itu. Bahkan, saat ini dikenal adanya "jebakan" framing (pemelintiran). Tidak jarang framing itu justru berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila yang pengaruhnya merasuk secara halus melalui digitalisasi.
Itu masih tantangan digitalisasi dalam agama dan politik, padahal tantangan digitalisasi dalam ekonomi dan budaya juga tak kalah berbahaya, karena bisa menjurus pada kolonialisme yang tak disadari, akibat proses digitalisasi sangat halus.
Contohnya, aplikasi TikTok yang semula bersifat sosial, tapi akhirnya memajang sarana jual beli. Itu baru satu aplikasi, padahal aplikasi asal Amerika, China, dan sebagainya, bukan sekadar aplikasi yang bersifat teknologi murni tanpa kepentingan ekonomi, politik, budaya, agama, dan sebagainya. Semua aplikasi itu rata-rata memiliki pengguna diatas 100 juta masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, langkah Presiden Jokowi yang melarang aplikasi sosial untuk berbisnis (misalnya, TikTok Shop) agaknya dapat dipahami, bahkan langkah itu terasa sangat kurang banyak untuk era digitalisasi kedepan, baik produk maupun konten viral, apalagi bila digitalisasi itu justru menggerus "modal kekuatan utama" bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Ya, ikhtiar mewujudkan "kesalehan digital" merupakan jawaban yang tak dapat dipandang enteng/ringan, karena sudah banyak negara yang tercabik-cabik oleh hoaks, framing, ujaran kebencian/adu domba, dan kolonialisme dalam berbagai bentuk digital, akibat tidak adanya penyikapan digitalisasi secara cerdas/tepat, benar/saleh/nyata, dan toleran/moderat (meyakini tanpa menyalahkan).
Dalam buku "Kesalehan Digital" (2023) yang memaparkan 12 jenis jebakan digitalisasi, ada tiga solusi cerdas dan benar yang disodorkan untuk menyikapi dunia digital, yakni narasumber/sanad (proses konfirmasi, kompetensi, kroscek/cek-ricek), matan/konten (objektif/akurat, adil/imbang, ukhuwah/kepentingan publik), dan rawi (rujukan kredibel).
Artinya, karakter digital dalam buku "Kesalehan Digital" itu menyodorkan saran untuk menghindari "share" informasi media sosial bila tanpa "tiga solusi" ("SMR" atau Sanad, Matan, Rawi), karena dapat berdampak fatal (fatalitas) yakni merusak demokrasi (konflik dan rekayasa konflik secara digital), merusak karakter/publik (anti demokrasi, tidak siap berbeda), dan merusak agama (muflis/bangkrut di akhirat).
Solusi "S" atau Sanad adalah adanya Sumber/Narasumber/Sanad sebagai sumber verifikasi informasi dari ahlinya/kompeten. Bukan informasi tanpa narasumber dan kompeten, bukan asal "makan/telan" dan "ikuti" secara "mentah" atau apa adanya (tanpa guru/rujukan/narasumber).
Untuk Solusi "M" atau Matan adalah isi/konten/meaning yang mengandung konten kebenaran, konten keadilan, dan konten ukhuwah. Konten Kebenaran adalah upaya kroscek untuk akurasi. Konten Keadilan adalah objektif/bukan sepihak/netral. Konten Ukhuwah adalah berbeda untuk mengenal/menghormati dan fokus kepentingan publik/bukan pribadi. Islam mengajarkan selalu positif atau diam. Negatif yang Benar adalah Ghibah (Makan Bangkai), lalu Negatif yang Salah adalah Fitnah (Bunuh).
Untuk Solusi "R" atau Rawi adalah rujukan/media referensi yang legal (Asosiasi/Dewan Pers) dan kredibel (kualitas-etik/standar-UKW), karena itu rujukan tanpa legal dan kredibel justru membahayakan, meski viral di dunia digital.
Jadi, Pancasila harus tetap menjadi modal utama dari kekuatan bangsa Indonesia memasuki Abad Kedua 2045, karena Pancasila adalah modal utama berbangsa dan bernegara, tapi mungkin perlu disertai "Kesalehan Digital". Kesalehan digital itu bukan ajakan untuk sikap baik/positif ansich, tapi ajakan untuk cerdas/saleh di dunia digital agar tidak kena prank/jebakan digital ala Framing akibat editan/potongan, hoaks, atau rekayasa informasi lainnya yang canggih.