Oleh Akhmad Kusaeni Mina - Melempar jumrah merupakan salah satu ritual haji yang saya lakoni dengan semangat 45. Bukan apa-apa, ini karena lempar jumrah adalah simbol perlawanan manusia melawan setan, si penggoda iman yang terkutuk. Kapan lagi kita menimpuk dan mengalahkan setan? Sejak mengumpulkan batu tengah malam di Musdalifah, adrenalin saya sudah naik. Setiap jemaah haji harus mengumpulkan 49 batu jika hanya menginap dua malam di Mina. Bagi yang menginap tiga malam, butuh tambahan 21 batu lagi menjadi 70 batu. Saya hanya menginap dua malam, jadi saya sebetulnya hanya butuh 49 batu. Tapi saya ambil tambahan 10 batu untuk cadangan. Saya ingin betul-betul siap tempur. Amunisi harus memadai. Kalau perlu, lebih banyak lebih baik. Saya mengumpulkan batu di malam gelap yang dingin dengan gairah bagaikan pejuang intifada Palestina. Bedanya, pejuang intifada mengumpulkan batu untuk menimpuk tentara Israel di Jalur Gaza. Saya dan seluruh jemaah haji, mencari batu untuk melempar setan, musuh umat manusia. Lagi serius mencari batu di tengah kegelapan begitu, Menteri Agama Suryadharma Ali memanggil nama saya. "Coba ambil batu yang itu," katanya seraya menunjuk ke batu sebesar bola sepak. "Gede amat pak, bukankah kita dianjurkan ambil batu kerikil saja?" jawab saya. "Itu untuk menimpuk rajanya setan," kata Amirul Haj itu sambil tertawa. Saat saya masih terpengarah, Suryadharma Ali buru-buru menjelaskan kalau yang disampaikannya hanya bercanda. Candaan Amirul Haj dilanjutkan dengan cerita bagaimana dua pemimpin masa Orde Baru melempar jumrah. Ternyata batu yang dilempar melenceng dari sasaran dan mengenai jidat masing-masing sehingga keduanya semaput. Petugas intelijen mengambil batu yang dilempar tadi untuk investigasi. Ternyata batu tersebut bertuliskan huruf Arab. Lalu dibawalah ke Majelis Ulama untuk ditanyakan artinya. "Ternyata tulisan Arab itu berbunyi: Sesama setan dilarang saling timpuk!" kata Suryadharma Ali. Saya ngakak di tengah malam yang dingin. Itu intermezo di sela-sela mencari batu di Musdalifah. Sebenarnya mencari batu di Musdalifah tidak sulit-sulit amat. Pemerintah Arab Saudi menabur batu kerikil bertruk-truk di kawasan itu. Tapi itu tadi, karena penerangan yang remang-remang, kadang-kadang ada jemaah yang salah pungut. Bukannya batu yang diambil, ternyata kotoran kambing gunung. Bulatannya sih sama. Cuma baunya yang berbeda. Saya beruntung tidak mendapat kotoran kambing. Satu kantung penuh batu kerikil saya kumpulkan. Batu-batu itulah yang pada esok harinya, tepat 10 Dzulhijah atau 6 Nopember 2011, saya bawa untuk melempar jumrah. Hari pertama saya bawa tujuh batu untuk melempar Jumrah Aqobah, tugu simbol setan yang paling besar. Permusuhan dengan setan Ada tiga buah jumrah yang ditandai dengan tugu yang harus dilempar dengan batu yang diambil di Muzdalifah. Kegiatan ini mengingatkan akan permusuhan antara Nabi Ibrahim melawan setan yang menggoda iman beliau ketika akan melaksanakan perintah Allah untuk mengorbankan Ismail. Jumrah terbesar bernama Jumrah Aqabah, yang sedang Jumrah Wustha, dan terkecil Jumrah Ula. Jumrah Aqabah terletak paling dekat dengan Mekkah atau paling jauh dari tenda-tenda jemaah haji di Mina. Pada 10 Dzulhizah, tepat pada hari raya Idul Adha, semua jemaah melempar Jumrah Aqabah ini, termasuk saya. Tanggal 11 sampai 13 Dzulhijah, jemaah melempar ketiga semua jumrah, dari yang terkecil, sedang, dan terakhir jumrah yang terbesar. Setiap jumrah dilempar dengan tujuh buah batu kerikil satu persatu, bukan tujuh buah sekaligus. Itu hasil manasik haji singkat yang saya dapat saat wukuf di Arafah dan obrolan di meja makan dengan petugas haji. Surahmat, petugas haji Daerah Kerja (Daker) Mekkah, yang tahu saya akan mulai melempar jumrah wanti-wanti mengingatkan agar yang dilempar adalah tugunya, yang melambangkan setan. "Meskipun setan adalah musuh kaum muslimin yang harus diperangi, tidak perlu berlebihan melempar sandal, sepatu, atau batu besar," pesannya. Henry Subiyakto, staf ahli Menkominfo yang sudah empat kali naik haji, juga memberikan nasihat bahwa yang dilempar memang simbol setan, tapi sebetulnya itu setan yang ada dalam diri kita sendiri. "Setan yang ada dalam diri kita sendiri" itu antara lain godaan korupsi, melakukan dosa besar, suka mendzalimi orang atau selingkuh menghianati pasangan. "Jadi carilah tujuh setan yang ada dalam diri sendiri itu," kata Pengarah Media Center Haji (MCH) itu. Setiap kali melempar batu, katanya, sebutkanlah setan mana yang akan ditimpuk dan dibunuh. Misalnya saja yang mau ditimpuk oleh batu pertama adalah setan yang selalu menggoda untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak halal. "Baca keras-keras doanya: Bismillahi Allahhu Akbar! Saya tidak akan korupsi lagi. Lalu lemparkan batu itu sekeras-kerasnya ke jumrah," ujar Henri yang siap menjadi "guide" bagi saya saat melempar jumrah. Untuk menuju tempat pelemparan, dari Mina jemaah harus berjalan kaki sekitar 3,5 meter. Dari tempat saya menginap di Misi Haji Indonesia lebih dekat. Cuma sekitar satu kilo. Tapi ya tetap melelahkan secara fisik karena harus berjalan kaki di tengah terik matahari dan berdesak-desakan dengan puluhan bahkan ratusan ribu jemaah lainnya. Saya dianjurkan untuk membawa air minum dan menutup mulut dan hidung dengan masker. Perlu strategi Pada 10 Dzulhijah, waktu afdol untuk melempar Jumrah Aqobah adalah sesudah matahari terbit. Sedangkan pada hari-hari sesudahnya waktu afdolnya adalah ba'da dzhuhur atau setelah tergelincirnya matahari. Di situlah perlunya strategi untuk mencari waktu melempar yang pas. Supaya aman dan tidak berdesak-desakan. Yang penting bisa memenuhi persyaratan meski tidak afdol-afdol amat. "Istilahnya, mending jadi haji minimalis ketimbang mencari yang afdol tapi beresiko," kata Kepala Informasi dan Humas Kementerian Agama Zubaidi. Ia merujuk pada kasus wafatnya seorang petugas haji beberapa hari sebelumnya yang memaksakan diri tawaf di saat-saat puncak kepadatan jemaah yang mencari afdol. Setelah berhasil mencium Hajar Aswad, petugas tersebut sesak nafas akibat terhimpit dan kemudian mati lemas. Maka berangkatlah saya menuju tempat pelemparan di luar waktu yang disebut afdol. Pada 10 Dzulhijah saya berangkat sehabis ashar sementara waktu afdol adalah pagi hari setelah matahari terbit. Pada hari-hari berikutnya saya melempar jumrah pagi hari untuk menghindari jemaah yang mbludak karena mengejar waktu afdol. Jadi saya terhindar dari berdesak-desakan dan berhimpit-himpitan sehingga saya bisa melempar setan dengan aman, lancar, dan khusuk. Jarak antara Jumrah Aqabah dengan Jumrah Wustha adalah 247 meter. Sedangkan jarak antara Jumrah Wusta dengan Jumrah Ula ialah 200 meter. Sambil berjalan dari satu jumrah ke jumrah lain saya membayangkan asal muasal mengapa para jemaah harus melempar batu di tiga tugu simbol setan tersebut. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ketika Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk melaksanakan haji, ia ditemani malaikat Jibril bergerak menuju Jumrah Aqabah. Dalam perjalanan ke situ, setan mencoba menghalanginya. Ibrahim lalu melempar dengan tujuh batu sehingga si setan tersungkur di bumi. Ketika sampai di Jumrah Wustha, si setan bangkit dan kembali menghalangi. Ibrahim melempar si setan dengan batu tujuh kali. Setan tersungkur lagi dihantam batu. Saat Ibrahim bergerak ke Jumrah Ula, si setan tidak kapok-kapoknya menghalangi. Ditimpuk lagi tujuh kali. Tersungkur lagi. Selepas itu, setan lenyap tidak kelihatan lagi. Meracuni pikiran Ibrahim Riwayat yang lain lagi menceritakan bahwa saat Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk mengorbankan anaknya, Ismail, setan datang mencoba meracuni pikiran Ibrahim. Namun, Ibrahim tidak menghiraukannya dan bahkan menimpuk si setan penggoda pikiran manusia itu. Konon peristiwa itu terjadi di sekitar Jumrah Aqabah. Kemudian si setan yang terkutuk itu datang menggoda Siti Hajar, isteri Ibrahim, agar membujuk si suaminya supaya tidak menyembelih Ismail. Siti Hajar tidak bergeming dan malah melontar si setan di Jumrah Wustha. Dasar setan, dia tidak putus asa dan terus menggoda manusia. Setan mencoba merusak iman Ismail agar jangan mau dikorbankan Ibrahim. Ismail juga tidak goyah digoda setan. Ismail menimpuk setan yang hina itu dengan batu di Jumrah Ula. Begitulah riwayatnya. Sekarang, jemaah haji seperti saya harus menimpuk setan-setannya sendiri. Setiap jemaah harus memastikan dengan jelas dan spesifik apa saja setan-setan yang mengganggu dan menggodanya. Godaan setan itu bisa saja berupa tawaran suap, korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau nikmatnya kekuasaan dan penzaliman atas lawan dan bawahan. Bisa juga setan itu berupa kesenangan berjudi, mabuk-mabukan, narkoba, atau main perempuan. "Tentukan setanmu sendiri dan timpuklah. Kamu punya 49 sampai 70 batu untuk melawan setan dalam dirimu sendiri," demikian Henri Subiyakto sebelum kami memulai intifada melawan setan di tempat jumrah. - Akhmad Kusaeni adalah Wakil Pemimpin Redaksi ANTARA (*)
Lempar Jumrah; Intifada Melawan Setan
Rabu, 9 November 2011 5:53 WIB