Tulungagung - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, bersikap sangat hati-hati dengan melindungi identitas empat warganya yang pernah menderita difteri dengan tidak menyebut nama maupun alamat bersangkutan ke media massa. "Kami sengaja tidak mau menyebut secara detail karena secara etika kedokteran memang tidak boleh," kata Kepala Seksi Wabah dan Bencana Dinkes Tulungagung Satrio Wibowo, Jumat. Sikap yang ditunjukkan Satrio berbeda dengan atasannya, Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan (PMKes) Trisnawati, yang sempat menyebut nama salah satu sekolah dasar di mana salah satu penderita ditemukan, sekitar awal Oktober lalu. Namun saat Trisnawati berusaha mengonfirmasi kepada Satrio mengenai nama-nama pasien difteri yang pernah terdeteksi selama kurun 2011, Kasi Wabah dan Bencana tersebut langsung mengingatkan atasnya tersebut agar tidak terlalu membeber detail korban dengan alasan semua telah tertangani. "Kasusnya telah berlalu sehingga kasihan kalau disebut-sebut lagi (ke media), berbeda kalau ini temuan baru," katanya beralasan. Mendapat peringatan dari anak buahnya, Trisnawati kemudian segera memperbaiki keterangannya. Ia menyatakan, keempat pasien yang sempat terdeteksi menderita difteri kesemuanya sudah sembuh dari salah satu penyakit menular mematikan tersebut, termasuk korban terakhir yang masih duduk dibangku SD. Trisnawati maupun Satrio mengatakan, berdasar tiga kali pemeriksaan laboratorium kepada para penderita setelah menjalani perawatan intensif di ruang isolasi RSUD dr Iskak, kesemuanya menunjukkan hasil negatif sehingga dipastikan sudah terbebas dari virus difteri. "Begitu pasien dinyatakan sembuh, mereka masih diharuskan untuk melakukan pemeriksaan sampel lendir rongga mulut ke laboratorium yang ditunjuk, dan hasilnya semua menyatakan negatif sehingga keempat eks pasien difteri tersebut kami nyatakan aman dan tidak berpotensi menular," tegas Satrio menimpali pernyataan Trisnawati. Karena alasan itu pula, Satrio menolak menyatakan daerahnya memiliki kawasan endemi wabah difteri. Sekalipun selama kurun dua tahun terakhir selalu ditemukan kasus difteri, ia menuding penyebab kemunculan wabah penyakit menular mematikan tersebut dikarenakan faktor tingginya mobilitas warga Tulungagung ke luar daerah/kota yang ditengarai sebagai kawasan endemi. Tiga kota yang paling banyak menjadi sasaran tujuan mobilitas warga Tulungagung dan memiliki sejarah kasus difteri itu antara lain adalah Kota/Kabupaten Blitar, Malang, serta Surabaya. "Hasil investigasi kami terhadap para pasien difteri selama dua tahun terakhir, kesemuanya rata-rata memiliki catatan perjalanan ke salah satu kota yang saya sebut tadi (Blitar, Malang, dan Surabaya). Ini menunjukkan bahwa kasus difteri di Tulungagung memang berasal dari luar daerah, dugaan kami begitu," ujarnya meyakinkan. Masalahnya, lanjut Satrio, seseorang yang tertular virus difteri tidak selalu menunjukkan gejala sakit suhu tubuh tingggi, batuk, pilek, sesak nafas, bengkak pada leher dan munculnya selaput putih di dalam tenggorokan. Beberapa orang yang dikarenakan memiliki kekebalan tubuh cukup baik biasanya hanya menjadi media perantara ("carier") bagi penularan penyakit yang disebut-sebut memiliki kemampuan "membunuh" penderitanya, hanya dalam tempo kurang dari seminggu. "Masalahnya virus ini (difteri) bisa bertahan dalam tubuh seseorang hingga enam bulan atau lebih, sampai kemudian menular pada orang lain. Risiko ini yang sekarang kami waspadai," kata Trisnawati. Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan kejadian luar biasa (KLB) terhadap serangan penyakit difteri, karena dari 38 kota/kabupaten di Jatim, hanya empat daerah yang bebas difteri, yakni Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Magetan, serta Ngawi. Penetapan status KLB tersebut dilakukan setelah sejumlah penderita meninggal dunia hingga mencapai 11 orang dari total 335 kasus yang tersebar di Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Bangkalan, Banyuwangi, Sumenep, Mojokerto, Blitar, Gresik, Pamekasan, dan Banyuwangi.
Dinkes Tulungagung Lindungi Identitas Penderita Difteri
Jumat, 21 Oktober 2011 16:45 WIB