Bondowoso (ANTARA) - Perbedaan pilihan pada calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 akan kita hadapi bersama. Sangat tidak mungkin semua warga bangsa ini hanya akan menjatuhkan hanya pilihan pada satu pasangan calon. Perbedaan pilihan adalah niscaya.
Berbeda pilihan mengenai pasangan capres-cawapres mana yang kita dukung, akan kita hadapi di kehidupan sosial, mulai dari tempat kerja, komunitas, bertetangga, bahkan di keluarga.
Dalam iklim demokrasi, keniscayaan berbeda pilihan bisa berdampak baik dan sekaligus buruk jika tidak disikapi dengan pikiran dan jiwa dewasa.
Hal yang patut diwaspadai bersama adalah perbedaan pilihan di dalam keluarga, khususnya antara suami dengan istri. Pada momen ini pemilu mengajarkan kita untuk betul-betul dewasa dan berkepala dingin menyikapi perbedaan pilihan.
Kemungkinan paling fatal dari perbedaan pilihan yang tidak mampu dikelola dengan baik, pada ujungnya akan berakhir di meja pengadilan agama alias perceraian. Kita semua tidak ingin terjebak dalam pusaran yang berakibat fatal ini.
Patokan dasar dari kita sebagai pemilih agar tidak terjebak dalam pertikaian saat mendapati kenyataan keluarga tidak satu pilihan dengan kita adalah "keutuhan keluarga kita lebih penting untuk dijaga" dibandingkan dengan membuat keputusan fanatik saat menjatuhkan pilihan untuk mendukung capres dan cawapres tertentu.
Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, percayalah bahwa tiga pasangan capres-cawapres yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024 adalah orang-orang terbaik. Karena itu, ketika kita menetapkan pilihan untuk mendukung pasangan capres-cawapres A, misalnya, afirmasikan dalam pikiran bawah sadar bahwa bangsa ini akan tetap baik-baik saja jika dipimpin oleh pasangan B atau C.
Demikian juga pendukung pasangan capres-cawapres B, negeri ini tidak harus dipimpin oleh pasangan B. Pendukung pasangan C juga harus yakin bahwa pasangan A dan B adalah orang-orang pilihan.
Masuk lagi ke kasus jika pilihan kita jatuh pada pasangan A, sedangkan istri atau suami kita mendukung pasangan B atau C, biarkan pasangan kita merdeka dengan keputusan hatinya itu.
Ungkapan bijak dan rasional barangkali bisa melembutkan hati kita yang saat ini masih terjebak dalam fanatisme buta bahwa pasangan capres-cawapres yang kita dukung harus menang pada Pemilu 2024. Jangankan urusan presiden dan wakil presiden yang akan memimpin bangsa dengan penduduk lebih dari 200 juta ini, untuk terpilihnya ketua rukun tetangga (RT) saja pasti ada campur tangan Tuhan atau semua itu sesuai kehendak-Nya.
Bukankah selembar daun jatuh dari pohonnya saja terjadi atas kehendak Allah? Artinya, siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden di 2024 nanti sudah ada catatannya dalam skenario besar Allah di "lauhul mahfudz".
Kalau kita yakin bahwa pasangan capres-cawapres yang akan menang di 2024 nanti sudah ada dalam skenario Allah, ketika pasangan kita berbeda dengan pilihan kita, sangat mungkin Allah menggerakkan hati beberapa pemilih di tempat lain menjadi sama dengan pilihan kita. Maka, untuk apa memaksa pasangan kita pilihannya harus sama?
Hanya orang yang keyakinannya pada takdir Allah tidak kokoh yang memaksakan kehendak bahwa pasangan capres-cawapres yang kita dukung yang harus jadi pemimpin negeri ini.
Kisah nyata dalam perhelatan pilkada di satu kabupaten di Jawa Timur ini barangkali bisa meluluhkan hati kita yang masih mau memaksa semua orang harus sama dengan pilihan kita.
Sebutlah namanya si A. Awalnya ia mendukung pasangan calon bupati dan calon wakil bupati "Rukun", tapi saat di tempat pemungutan suara (TPS) ketetapan hatinya berubah ketika melihat foto pasangan "Akur". Si A merasa kasihan dan mencoblos pasangan "Akur", padahal sebelumnya, ia kemana-mana semangat mengajak orang untuk memilih pasangan "Rukun".
Negeri ini tidak pernah menuntut kita menjadi pendukung fanatik pasangan capres-cawapres tertentu. Negeri ini hanya menginginkan kita menentukan pilihan dengan rasa damai dan bahagia, kemudian datang ke TPS, coblos pasangan yang dipilih. Iya, hanya itu. Negeri ini justru menuntut kita memiliki keluarga yang semua anggotanya selalu damai, termasuk saat menghadapi pilpres.
Negeri ini juga berharap kita untuk selalu baik dan rukun dengan tetangga yang merupakan cerminan mini dari kesatuan dan persatuan bersama sebagai warga bangsa.
Semua cerita di atas adalah tentang kita yang menjadi pelaku dari dukungan fanatik pada pasangan capres-cawapres tertentu. Bagaimana kalau yang demikian itu adalah pasangan kita?
Ini tentu tidak mudah. Lagi-lagi ini tentang kedewasaan berpikir dan kelegawaan hati. Berpeganglah kembali pada filosofi dasar bahwa kedamaian dan keselamatan keluarga adalah segala-galanya.
Buah hati kita sama sekali tidak membutuhkan sikap "ilusi heroik", seolah-olah kita adalah pahlawan ketika dengan gagah mendukung calon tertentu secara membabi buta.
Anak-anak kita lebih membutuhkan kasih sayang dan semua kebutuhan dasar hidupnya terpenuhi dengan baik. Anak-anak kita lebih suka menyaksikan orang tuanya rukun dan damai.
Bersikap santai dan biasa-biasa saja menyikapi dukungan terhadap pasangan capres-cawapres tertentu adalah pilihan "pribadi yang berkelas", meskipun tidak berarti kita apatis pada proses demokrasi lima tahunan ini.
Mari kita fanatik pada pilihan bahwa bangsa ini rakyatnya harus hidup rukun, damai, dan sejahtera. Filosofi Jawa mengingatkan, "Urip mung mampir ngombe" alias "Hidup ini hanya untuk mampir minum". Hadapi Pilpres 2024 dengan banyak senyum.