Jakarta (ANTARA) - Praktisi Kesehatan, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dr Andi Khomeini Takdir mengatakan, hampir seluruh masyarakat Indonesia berpotensi memiliki penyakit diabetes melitus.
Baca juga: RSUD Gambiran ajak warga Kediri deteksi dini kolesterol dan diabetes
Hal tersebut, kata Dokter Koko, diperburuk dengan kebiasaan olahraga rutin yang tidak dilakukan oleh semua orang, serta kecanggihan teknologi yang menyebabkan beberapa kalangan menjadi malas bergerak.
Selain itu, sambungnya, juga ditambah dengan penyakit diabetes bawaan genetik yang berasal dari keluarga yang memiliki riwayat penyakit diabetes.
Kebiasaan makan yang kurang baik, kata dia, juga berpengaruh dalam peningkatan potensi penyakit diabetes di Indonesia.
"Di Indonesia, sebagian orang merasa belum makan kalau bukan nasi, akhirnya makan nasi, lauk mi, dan kerupuk. Jadi serba karbo gula. Mulai dari gula kompleks pada nasi, mi, dan diperparah dengan minum teh manis," ucapnya.
Oleh karena itu, sebelumnya Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI Dante Saksono Harbuwono mengajak masyarakat untuk menjadi smart eater dengan cara memilah secara cerdas ragam makanan yang akan dikonsumsi guna mencegah dampak buruk obesitas.
"Yang diperlukan adalah mendidik masyarakat menjadi smart eater atau cerdas untuk makan. Jadi sebelum dia makan, sebelum beli makanan, dia baca dulu kalorinya berapa, sehingga bisa diperhitungkan dampaknya," kata Wamenkes (24/7).
Ia mengatakan, indeks masa tubuh pada anak dapat dihitung dengan rumus membagi berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan (dalam meter kuadrat) untuk mengetahui status gizi yang didapat.
"Kalau indeks masa tubuh dia lebih dari 25, disebut obesitas, kalau 25 sampai 30, dia obesitas 1, dan lebih dari 30 termasuk obesitas 2," katanya.
Sedangkan pada dewasa, kata Wamenkes Dante, hal terpenting adalah mengukur lingkar perut. Pada laki-laki tidak boleh lebih dari 90 sentimeter dan perempuan 80 sentimeter.