Lebak (ANTARA) -
Perayaan Seba pertama dilaksanakan di Pendopo Pemkab Lebak, Rangkasbitung, pada Jumat (28/4), dan kedua di Gedung Pendopo Pemprov Banten, Kota Serang, Sabtu (29/4).
Perwakilan warga Badui Dalam sebanyak 42 orang dari Kampung Cibeo, Cikawartana dan Cikeusik Desa Kanekes Kabupaten Lebak berjalan kaki menempuh perjalanan hingga 200 kilometer pulang pergi untuk mengikuti perayaan Seba.
Jalan kaki dari perkampungan dilakukan pada Jumat (28/4) pukul 05.00 WIB dan tiba di Rangkasbitung pukul 14.00 WIB. Selanjutnya, perjalanan dilakukan dari Rangkasbitung menuju Kota Serang, pada Sabtu (29/4) pukul 05.00 WIB dan tiba pukul 12.00 WIB.
Warga Badui Dalam dalam prosesi ini berjalan melintasi perbukitan dan terjal di kawasan Gunung Kendeng dengan kondisi gelap hingga jalan raya.
Dalam perjalanan yang begitu jauh dan cukup melelahkan dari perkampungan Badui Dalam menuju Kota Serang tanpa alas kaki, walaupun matahari bersinar cukup terik.
"Demi upacara Seba bersama Bupati Lebak dan Pj Gubernur Banten kami merasa senang dan bahagia," kata tokoh Badui Dalam, Ayah Mursyid, dalam keterangan di Lebak, Senin (1/5).
Masyarakat Badui Dalam hingga kini kemana pun pergi harus berjalan kaki dan dilarang menggunakan kendaraan. Pelarangan menggunakan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, karena kepatuhan mereka terhadap leluhur. Tradisi tersebut diwarisi masyarakat Badui Dalam sejak dulu kala.
Masyarakat Badui Dalam yang tersebar di Kampung Cibeo, Cikawartana dan Cikeusik hingga kini memegang teguh terhadap nilai -nilai adat setempat. Jika ditemukan warga Badui Dalam naik angkutan kendaraan, maka bisa dikenakan sanksi adat. Bahkan, sanksi adat itu bisa berupa dikeluarkannya sebagai warga Badui.
Karena itu, masyarakat Badui Dalam mematuhi kemanapun pergi, termasuk mengikuti upacara ritual Seba tetap berjalan kaki. Masyarakat Badui Dalam, melarang naik angkutan kendaraan serta hal-hal yang modern, seperti penggunaan telepon genggam (handphone) maupun televisi, karena sudah ada aturan adat itu.
Sementara itu, dalam perayaan Seba, warga Badui dapat memberikan aspirasi dan menyampaikan masukan kepada pemerintah setempat dan aparat penegak hukum, guna mencari jalan terbaik untuk kesejahteraan masyarakat. "Kami tahun ini merasa bahagia dan senang bisa mengikuti Seba dengan kondisi sehat,"kata Ayah Mursyid, menambahkan.
Menurut literatur, masyarakat Badui secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Tangtu, Panamping, dan Dangka. Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Badui Dalam, yang ketat mengikuti aturan adat. Warga Badui ini tinggal di tiga kampung, yakni Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Sedangkan masyarakat Panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Badui Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Badui Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Sementara kelompok Badui Dangka adalah keturunan dari suku Badui, tapi sudah tinggal di luar tanah adat.
Seba Gede
Pemuka Badui yang juga Kepala Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Jaro Saija, mengatakan perayaan tahun ini dinamakan "Seba Gede" atau kunjungan besar, yang diikuti sebanyak 1.224 orang. Pelaksanaan tahun lalu dinamakan Seba Kecil dengan peserta hanya ratusan orang.
Upacara Seba Badui merupakan puncak dari rangkaian adat masyarakat Badui setelah menjalani tradisi Kawalu, yakni puasa selama tiga bulan.
Kawasan tempat tinggal masyarakat Badui Dalam tertutup dari kunjungan wisatawan. "Dengan Seba Badui itu tentu dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa juga nilai -nilai toleransi,dimana bangsa ini memiliki keberagaman suku, budaya, sosial dan agama," kata Jaro Saija.
Masyarakat Badui merayakan Seba setiap tahun sekali untuk bersilaturahmi ke Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, bersama pejabat daerah dan kemudian dilanjutkan berkunjung ke Gubernur Banten.
Perayaan Seba wajib dilaksanakan masyarakat Badui sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan hasil pertanian mereka.
Ungkapan rasa syukur itu ditandai dengan menyerahkan hasil pertanian kepada kepala daerah, seperti beras huma, pisang, petai juga gula aren, makanan tradisional serta buah-buahan.
Perayaan adat tersebut sudah berlangsung ratusan tahun sejak nenek moyang mereka sebagai bentuk kesetiaan dan kepatuhan serta kecintaan terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum.
Masyarakat Badui dengan penduduk 11.600 jiwa tersebar di 58 perkampungan hingga kini masih terpelihara dan terjaga untuk melaksanakan perayaan adat tersebut. Hubungan yang terjalin dengan baik, mampu mendorong kesejahteraan masyarakat Badui.