Pantaskah Mereka Disebut Wakil Rakyat...?
Minggu, 10 Juli 2011 20:19 WIB
Konflik antarelite politik di negeri ini sepertinya tidak akan pernah berkesudahan. Para elite memerankan lakonnya sendiri-sendiri dari satu episode ke episode lainnya. Alih-alih sebagai penengah dan penawar solusi, para negarawan dan pejabat publik pun melibatkan diri dalam konflik itu atas nama pengabdi kekuasaan.
Para elite, itu juga tidak pernah sadar akan kondisi masyarakat yang sudah mengalami kelelahan dalam berpolitik (political fatigue). Masyarakat golongan ini ingin mengubur dalam-dalam penyesalannya setelah menjadi objek penderita dalam dagelan babak lima tahunan itu.
Apatisme masyarakat seperti itu tidak boleh dibantah mengingat konstelasi politik di negeri kita masih berorientasi pada perebutan kekuasaan, bukan pada tataran pemberdayaan dan pendidikan yang membangkitkan kesadaran masyarakat dalam berpolitik seperti di negara-negara maju.
Oleh karena itu sebelum Perang Dunia II berkecamuk, pemimpin kelompok pejuang Prancis, Charles de Gaulle, pernah berujar, "Politikus tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat memercayainya."
Bila dicermati, pernyataan Presiden Prancis periode 1958-1959 itu ditujukan kepada dua kelompok, yakni kelompok politikus yang suka berbohong dan kelompok masyarakat yang terlena atas ucapan para pembual politik. Tentu saja yang merugi adalah kelompok kedua karena kelompok pertama akan meninggalkan mereka begitu tujuan tercapai.
Nah, fenomena itu kini terjadi di negeri ini. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita mengenai pelarian mantan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR, Nazaruddin, ke luar negeri. Belum lagi kecurangan pemilu, konflik internal partai politik, dan perilaku politikus kita, mulai dari aksi "lompat pagar" ke partai politik lain hingga perbuatan asusila.
Mereka melakukan itu boleh jadi karena ingatannya terganggu. Kalau tidak terganggu, tentu mereka akan ingat terus amanat yang dititipkan rakyat dari balik bilik suara. Amanat yang seharusnya dijunjung tinggi kesuciannya, bukan malah diselingkuhi mengingat suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei).
Suatu ketika Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabatnya. "Kullukum ro'in wa kullukum mas'uulun 'an ro'iyyatihi". (Kamu sekalian adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian).
Oleh karena itulah, sahabat-sahabat Rasulullah tampak terkejut dengan mengucap kalimat "Masya Allah" setiap kali mendapat jabatan karena bagi mereka jabatan itu adalah musibah, apalagi jabatan yang menyangkut kelangsungan hidup rakyat banyak.
Demikian halnya khalifah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun mewarisi kekuasaan dari Dinasti Umayyah yang kental dengan gaya hidup hedonisme, Umar mampu menguasai dirinya. Nuraninya berhasil melepaskan diri dari jeratan dan dominasi kepentingan duniawi. Sebagai penguasa yang mewarisi kepemimpinan khalifah Umar bin Khottob RA, dia mampu bersikap adil dan menebarkan kasih sayang kepada rakyatnya, tanpa pandang bulu.
Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz memiliki kekayaan lebih dari 400 ribu dirham. Namun, setelah menjadi khalifah kekayaannya pun menyusut tinggal 40 ribu dirham saja. Sungguh sikap Umar itu sangat bertolak belakang dengan perilaku para penguasa dan elite politik kita yang terus bertambah harta kekayaannya seiring dengan meningkatnya jabatan, dan terbukanya kesempatan yang seluas-luasnya mengelola uang rakyat.
Soal uang negara, entah itu APBD, APBN, atau bentuk lain yang dihimpun dari pajak dan retribusi, penguasa dan elite politik tak akan pernah ingat rakyat yang memilihnya. Penguasa dan elite politik merasa memiliki kewenangan absolut dalam mengelola uang negara.
Mereka sering kali lupa akan hak Adami rakyat selaku pembayar pajak yang taat. Di situlah malapetaka itu mulai terjadi. Penguasa dan elite politik kita tidak pernah merasa bersalah terhadap rakyatnya, sehingga kekisruhan demi kekisruhan di negara ini berdatangan silih berganti.
Para penguasa dan elite politik kita lebih senang berkelahi, saling menipu, dan saling memeras untuk tujuan sesaat. Anugerah berupa negeri yang kaya raya ini atas melimpahnya sumber daya alam malah diabaikan dan membiarkan bangsa lain yang mengelolanya.
Lantas, ketika mereka berpulang ke haribaan, apa yang akan mereka wariskan kepada anak cucu? Bagaimana pula cara mereka bertanggung jawab, ketika kelak anak cucu menagih hak Adaminya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja tidak mudah dijawab sebelum para penguasa dan elite politik kita mampu menjawab pertanyaan mereka sendiri, "Pantaskah aku ini menjadi wakil rakyat di muka bumi ini (khalifah fil ardl)?"
[irfan@antara.net.id]