Jakarta (ANTARA) - Sejak perilisan film pertamanya pada 2018, "Black Panther" tak hanya menjadi salah satu karakter dan cerita penting di semesta sinematik Marvel (MCU), tetapi juga sebuah fenomena budaya dan representasi yang begitu berpengaruh bagi banyak orang.
Kehadiran "Black Panther" yang menampilkan cerita epik, penuh aksi, dan futuristik, juga turut merangkul sejarah dan tradisi -- menggambarkan pergerakan, politik implisit dari negara di Afrika untuk melawan penjajah yang haus akan sumber daya alam. Film mampu membungkus banyak topik yang begitu serius itu ke dalam kemasan yang kekinian, dengan pahlawan super yang keren sekaligus berdampak.
Namun, berpulangnya aktor Chadwick Boseman dua tahun silam pun menimbulkan rasa duka, kehilangan, dan pertanyaan: "Bagaimana Kerajaan Wakanda tanpa Black Panther?". Pertanyaan ini pun menjadi premis dalam "Black Panther: Wakanda Forever".
Kepergian sang raja, sang pelindung Wakanda membuat banyak orang terluka. Hal ini membuat para pemimpin kerajaan harus terus kuat dan berjuang untuk melindungi negara mereka dari serangan pasukan -- walaupun begitu berat dan menantang.
Wakanda kini dipimpin oleh Ratu Ramonda (diperankan oleh Angela Bassett) -- ibu dari T'Challa dan Shuri (diperankan oleh Letitia Wright). Kerajaan yang sebelumnya terasingkan, kini telah dikenal oleh dunia berkat kepemimpinan sang mendiang raja. Namun, sejak kepergiannya, Wakanda menjadi sasaran banyak bangsa untuk diperebutkan, karena sumber daya vibraniumnya yang begitu kaya.
Baca juga: Wakanda Forever merupakan eksplorasi duka dan kekuatan
Apalagi, para penjaga Wakanda sempat menemukan sejumlah tentara bayaran yang mencoba masuk ke pusat teknologi negara tersebut, dan mencoba mengambil vibranium dengan paksa. Tapi, mereka ditangkap, dan membuat Ratu Ramonda marah besar di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena berani menyerang bangsanya.
Sementara itu, ancaman bagi Wakanda rupanya tak hanya berada di atas permukaan tanah, namun juga muncul dari bawah laut. Terdapat sebuah negara bawah laut bernama Talokan yang tersembunyi, dan berada di bawah perintah Namor (diperankan oleh Tenoch Huerta Mejia).
Namor memiliki tujuan untuk melawan mereka yang mencoba mengambil sumber daya alam wilayahnya, sembari mencari sekutu untuk membantunya berperang. Ia juga menyasar Riri Williams (diperankan oleh Dominique Thorne) yang ternyata ikut andil dalam pembuatan teknologi yang merugikan Kerajaan Talokan.
Meski memiliki banyak karakter -- baik lama maupun baru -- "Black Panther: Wakanda Forever" memiliki satu fokus yang relevan dan terbilang tak jauh berbeda dari film pertamanya, yaitu tentang menangkap makna kehilangan, pengorbanan, dan kepahlawanan. Setiap karakter memiliki pandangan yang berbeda dari topik-topik tersebut.
Sutradara Ryan Coogler yang kembali membuat skenario bersama Joe Robert Cole, melanjutkan warisan Black Panther dalam cerita yang disusun dengan hati-hati, tema yang diperluas dengan bijaksana, dan memiliki dampak emosional yang kuat bagi siapa pun yang menontonnya.
Kematian T'Challa membuat tokoh-tokoh utama lainnya dalam "Black Panther" memiliki pengembangan karakter yang berdampak. Orang-orang di belakang T'Challa -- yang kebanyakan adalah wanita -- memiliki caranya masing-masing dalam meratapi dan menghadapi kehilangan.
Basset dan Wright, yang memiliki peran vital dalam film, tampil begitu luar biasa dalam memainkan karakternya. Pun dengan Danai Gurira sebagai Jenderal Okoye, dan Lupita Nyong'o sebagai Nakia. Betapa besar emosi yang diluapkan, air mata yang harus diusap, dan darah yang harus dipertaruhkan.
Bagaimana para karakter ini melangkah lebih jauh -- agaknya juga mencerminkan para pembuat film ini menjalani sekuel tanpa sosok Boseman -- dorongan, kekuatan, dan hasrat kuat Coogler dan tim untuk membuat warisan ini terus hidup.
Tak hanya berkutat dengan hal-hal serius, "Wakanda Forever" juga memiliki elemen aksi yang seru. Ada juga bumbu komedi dengan porsi yang pas, serta pengenalan karakter-karakter baru seperti Namor dan Riri yang tentu saja memiliki kelanjutan dalam MCU.
"Black Panther: Wakanda Forever" bisa dibilang berbeda dari film dan konten MCU Fase 4. Sekuel hadir dengan penceritaan yang slow-burn, namun tetap imersif. Durasi 2 jam 41 menit pun tak terasa berlalu karena balutan cerita, visual, dan suara yang begitu memukau.
Sinematografer Autumn Durald ("Palo Alto", "Beastie Boys Story") dengan apik membawa audiens masuk ke dalam dunia Wakanda dan Talokan. Keindahan ini semakin sempurna jika disaksikan di layar terlebar yang bisa Anda kunjungi.
Sutradara Coogler pun menggandeng sejumlah kolaborator lamanya, termasuk editor Michael P. Shawver, desainer produksi Hannah Beachler, penata dekorasi Marlie Arnold dan Jason T. Clark, penata visual efek Geoffrey Baumann, penata kostum Ruth E. Carter, dan komposer Ludwig Goransson.
Audio di film ini pun tak kalah indahya dengan visual yang ditampilkan. Scoring dari Goransson -- yang memenangkan piala Oscar untuk "Black Panther" (2018), ditambah dengan lagu tema dari Rihanna yakni "Lift Me Up", menjadi kombinasi lengkap bagi film ini.
Secara keseluruhan, "Black Panther: Wakanda Forever" merupakan tribut sempurna untuk mengenang dan merayakan warisan yang ditinggalkan oleh sang Black Panther -- Chadwick Boseman.
Para pahlawan "Wakanda Forever" berjuang untuk hidup mereka, bangsa mereka, dan raja mereka yang telah tiada dengan begitu berani. Keberanian pun agaknya tak hanya dinilai dari seberapa banyak luka yang membekas di kulit, namun juga bagaimana seseorang mampu menerima kerapuhan diri, untuk kemudian bangkit sebagai seorang prajurit.
Memang, sebuah sekuel tak terasa lengkap tanpa pahlawan aslinya, namun, semua orang yang terlibat dalam film ini mencoba mengisi kekosongan tersebut.
T'Challa memang telah tiada, tapi, di suatu tempat, ia tersenyum -- merasakan begitu banyak cinta yang dimiliki bangsanya.
"Black Panther: Wakanda Forever" tayang mulai 9 November di bioskop Indonesia.(*)