Surabaya (ANTARA) - Baru-baru ini, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuat kebijakan baru dengan membebaskan pelajar sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) dari pekerjaan rumah (PR) sekolah yang diberlakukan mulai 10 November 2022.
Wali kota beralasan, bahwa PR tidak boleh membebani siswa, melainkan PR lebih mengarah kepada pembentukan karakter. Meskipun ada PR, tapi dia menginginkan tidak terlalu berat dan terlalu banyak.
Untuk itu, Wali Kota meminta Dinas Pendidikan (Dispendik) setempat mengedepankan proses pertumbuhan karakter siswa. Selama ini jam sekolah dinilai terlalu panjang dan membuat aktivitas sosial di luar sekolah berkurang.
Dispendik Surabaya akhirnya membuat kebijakan baru dengan menerapkan 2 jam pelajaran di sekolah untuk pendalaman karakter para pelajar. Yakni, jam belajar selesai pukul 12.00 WIB dan pendalaman sampai pukul 14.00 WIB. Artinya dua jam sudah efektif, anak-anak bisa mengikuti pola pembelajaran melalui pengembangan bakat masing-masing seperti melukis, menari, mengaji, dan lainnya.
Sedangkan untuk penyelesaian PR bagi siswa di tingkat SD dan SMP bisa dilakukan melalui kelas pengayaan untuk diselesaikan di sekolah. Dengan demikian, saat anak-anak pulang sudah tidak ada beban mengerjakan PR. Maka, pengayaan pembelajaran antarteman bisa membantu menyelesaikan PR dan pulang sudah tidak memikirkan PR.
Pola pembelajaran pendalaman karakter tersebut akan melatih para siswa untuk lebih aktif, mandiri, dan berani memberikan pendapat untuk menciptakan desain atau rencana pengembangan pengetahuan siswa.
Anak dilatih aktif untuk membuat proyek. Maka disiapkan menu ekstra kulikuler yang cocok dengan sekolah dan kondisi anak-anak agar menyenangkan.
Kebijakan tersebut mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Seperti halnya dari Ketua Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Surabaya Khusnul Khotimah yang menyebut kebijakan itu selaras dengan masukan-masukan yang sudah disampaikan para guru ngaji, saat melakukan reses beberapa waktu lalu.
Saat reses, para guru Taman Pendidikan Al Quaran (TPA) memberikan masukan agar sekolah tidak lagi memberikan tugas-tugas sekolah atau PR secara terus-menerus dalam kurun waktu satu pekan. Alasannya, karena banyak siswa yang akhirnya tidak bisa datang ke masjid atau mushalla, untuk mengaji dengan alasan kelelahan di sekolah atau sedang menyelesaikan tugas sekolah di rumah.
Bagi Khusnul, pembentukan karakter tidak hanya bisa dilakukan di rumah atau sekolah saja, namun juga bisa dilakukan di TPA di masjid atau mushalla. Anak-anak yang mengaji juga turut memberikan sumbangsih untuk pembentukan karakter tersebut.
Itu artinya secara tidak langsung juga mampu meningkatkan SDM yang berimtaq dan beriptek.
Dukungan lain juga disampaikan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang menyebut kebijakan itu salah satu bentuk dari program Merdeka Belajar.
Nadiem menuturkan, bisa jadi tidak mungkin tak ada PR bagi siswa. Namun, kegiatan penggantinya dapat mengasah pendalaman karakter tersebut.
Nantinya, sisa waktu siswa sepulang sekolah dengan demikian dapat diisi dengan kegiatan selain drilling materi pelajaran. Contohnya project-based learning, dilanjutkan di rumah. Itu PR juga.
Meski demikian, Pakar Pendidikan sekaligus Guru Besar Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Dr. H. Muchlas Samami mempertanyakan kebijakan itu. Menurut dia, karakter bukan jadi topik sendiri, melainkan melekat pada apa yang dikerjakan siswa.
Bahkan di mata pelajaran PPKN juga ada pendidikan agama, olahraga hingga pendidikan karakter serta kerja sama. Pendidikan karakter telah diintegrasikan di semua mata pelajaran. Contohnya guru fisika juga memberikan pendidikan karakter disiplin, kerja keras, kerja kelompok dan tidak diteorikan.
Prof Muchlas menjelaskan pendidikan karakter yang bagus itu namanya school culture. Yakinlah kalau sekolahannya itu bersih, gurunya santun, jamnya tertib, anak juga ikut (Bersih, santun dan tertib). Kerja keras, kerja kelompok, kerja sama itu bukan teori, sehingga dia tidak sependapat ada pelajaran karakter berdiri sendiri. Meski itu ke integrasi pelajaran, semua guru berkarakter dan semua pelajaran diberikan ruh karakter.
Untuk itu, alangkah sebaiknya saat menghapus PR jangan hanya PR-nya saja, melainkan juga beban-beban yang dihapuskan, termasuk yang ada di sekolah. Misalnya, kenapa anak menghafalkan. Tetapi bagaimana siswa menggunakan waktu seefisien mungkin. (*)