Lumajang (ANTARA) - Jalan berkelok yang menghubungkan Kabupaten Malang dengan Lumajang, Provinsi Jawa Timur memberikan pengalaman tersendiri. Meski sempit, jalan itu urat nadi yang menyambung dua wilayah tersebut.
Melintas dari kawasan Kecamatan Pronojiwo menuju Candipuro, Kabupaten Lumajang, nuansa hutan yang dilengkapi struktur batuan berukuran raksasa menjadi pengalaman tersendiri dan penuh tantangan bagi para pengguna jalan nasional Raya Dampit-Lumajang.
Ruas jalan itu, menghubungkan Pronojiwo dan Candipuro, dilengkapi dengan bentangan Jembatan Geladak Perak sepanjang 129 meter. Jembatan Geladak Perak akses penghubung yang vital bagi wilayah Malang dan Lumajang.
Jembatan yang membentang di atas Sungai Besuk Sat itu, pada 4 Desember 2021 hancur diterjang banjir lahar akibat meletusnya Gunung Semeru. Nuansa hutan yang didominasi warna hijau, kemudian berubah.
Menyusuri jalan menuju Jembatan Geladak Perak pascaerupsi terasa seperti dalam suatu adegan film. Abu vulkanik yang masih melekat di aspal, dedaunan, pohon, dan batuan seolah menipu penglihatan dengan hanya menyajikan satu warna dalam hidup, abu-abu.
Kuatnya aliran lahar dari letusan Gunung Semeru memorak-porandakan jembatan utama penghubung wilayah tersebut. Erupsi gunung tertinggi di Pulau Jawa itu, juga menghancurkan Jembatan Geladak Perak lama yang dibangun pada 1925-1940.
Pada titik itu, ada dua jembatan yang berjajar dan membentang, seolah melengkapi bentang alam pada area tersebut. Jembatan Geladak Perak lama, pada saat masih berdiri, sudah tidak lagi dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan.
Jembatan lama itu, berdiri di sisi utara jembatan baru yang dibangun oleh pemerintah pada 1998-2001. Geladak Perak lama dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan lebar sekitar empat meter dan panjang 100 meter sebagai bangunan cagar budaya.
Kedua jembatan itu, saat ini sudah tidak lagi berdiri kokoh. Puing reruntuhan kedua jembatan itu, hanya terlihat sebagian, sementara sisanya hancur dan ditelan material vulkanik. Urat nadi penyambung Malang-Lumajang terputus.
Dampak terputusnya Jembatan Geladak Perak itu, mulai dirasakan oleh masyarakat khususnya di Pronojiwo. Tidak ada lagi hilir mudik kendaraan bak terbuka pengangkut sayuran atau pasir yang menjadi sumber pemasukan mereka.
Lalu lalang kendaraan yang menghidupi kawasan itu, digantikan dengan datangnya sejumlah alat berat dan kendaraan yang membawa bantuan bagi warga terdampak letusan gunung yang memiliki puncak berjuluk "Mahameru" itu.
Saat ini, memang masih terlihat adanya aktivitas kendaraan yang turut serta dalam proses penanganan bencana Gunung Semeru di Pronojiwo. Pada kecamatan itu, setidaknya 20 hektare lahan pertanian rusak dan puluhan rumah hancur.
Namun, juga ada potensi terhentinya roda perekonomian yang saat ini masih belum terlalu terlihat.
Warung kecil
Pada Jalan Raya Dampit-Lumajang, banyak berjajar warung-warung kecil yang dikelola warga setempat. Warung-warung tersebut, selama ini menjadi pelengkap pemenuhan kebutuhan para pengendara kendaraan bermotor yang melintas.
Baik pengendara dan pemilik warung, sama-sama saling membutuhkan. Pemilik warung berharap orang-orang yang melintas mampir sejenak dan menikmati sajian sederhana yang dihidangkan sebelum melanjutkan perjalanan.
Sementara bagi para pengendara kendaraan bermotor, keberadaan warung-warung kecil itu menjadi pemenuhan kebutuhan saat mereka ingin beristirahat atau sekadar menikmati secangkir kopi yang dibalut sejuknya udara pegunungan.
Salah seorang pengelola warung sederhana di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Yamini (35), mengatakan bahwa dampak putusnya Jembatan Geladak Perak, sudah mulai terasa. Omzet harian yang diterima saat ini, turun lebih dari 50 persen ketimbang situasi normal.
Meskipun terlihat sederhana, warung yang dikelola Yamini tersebut bisa mendapatkan omzet hingga Rp1,5 juta per hari. Pemasukan uang yang nilainya tidak sedikit itu bersumber dari para pengemudi yang mampir ke warungnya.
"Ini sudah tidak ada lagi mobil lewat yang mengirimkan barang, sayuran termasuk juga truk-truk pasir. Sekarang sudah tidak ada. Sekarang pendapatan sudah tidak sampai Rp500 ribu per hari," katanya.
Pendapatan yang diterimanya saat ini, juga belum menggambarkan kondisi nyata, dampak putusnya Jembatan Geladak Perak. Hal itu dikarenakan saat ini masih ada sejumlah relawan yang mampir ke warung tersebut.
Namun, jika nantinya para relawan yang bertugas membantu penanganan dampak letusan Gunung Semeru telah kembali ke daerah masing-masing, ia sangat khawatir dengan nasib warung yang dikelolanya.
"Kalau (penanganan bencana, red.) ini semua selesai, dampaknya akan lebih besar. Jika sudah tidak ada lagi pengunjung, ya kami tutup, tapi kami akan makan apa," katanya.
Putusnya Jembatan Geladak Perak tidak hanya berdampak langsung terhadap keberadaan pelaku ekonomi skala kecil. Jaringan toko ritel modern di Pronojiwo juga terdampak.
Bagi toko ritel modern, putusnya Jembatan Geladak Perak menghambat distribusi produk. Selama ini, jaringan distribusi pada toko ritel modern di Pronojiwo dipasok dari Kabupaten Jember.
Pengiriman produk ke jaringan toko ritel yang seharusnya dilakukan setiap hari, terhenti untuk sementara. Bagi pelaku bisnis skala besar, langkah cepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut bisa dilakukan dengan mudah.
Salah seorang asisten kepala toko ritel modern di Pronojiwo, Jiwo Harsoyo, mengatakan sejak putusnya Jembatan Geladak Perak, pasokan sejumlah produk tersendat.
"Putusnya jembatan ini berdampak, seharusnya ada pengiriman setiap hari. Namun ini belum pulih karena pasokan awalnya dari Jember," ujarnya.
Namun, pihak pengelola jaringan toko modern telah mengambil langkah untuk segera memasok sejumlah produk melalui jaringan toko di Kabupaten Malang. Kecamatan Pronojiwo bisa diakses dari Kabupaten Malang.
"Mulai besok akan dipasok dari Malang. Kemarin sempat tersendat karena jembatan putus," ujarnya.
Kondisi antara pelaku usaha kecil dengan jaringan toko ritel modern memang berbeda. Bagi pelaku usaha kecil, keberadaan Jembatan Geladak Perak merupakan urat nadi perekonomian yang selama ini menjadi tumpuan untuk menjalani hidup.
Namun, ada harapan yang sama dari kedua pelaku usaha itu. Keduanya berharap Jembatan Geladak Perak bisa segera dibangun kembali, agar aliran ekonomi yang terhenti atau terhambat bisa kembali pulih.
Langkah cepat
Dikarenakan jembatan tersebut merupakan salah satu infrastruktur yang penting, pemerintah berupaya untuk mengambil langkah cepat agar pembangunan bisa segera dilakukan. Namun, pembangunan juga harus tetap memperhatikan faktor keamanan pada area tersebut.
Adanya aliran lahar dari gunung yang memiliki ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl), masih menjadi ancaman nyata. Meskipun demikian, langkah pertama pemerintah untuk membangun jembatan itu, sudah dijejakkan.
Mulai Kamis (9/12), Tim Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) mengambil contoh tanah hingga batuan keras pada titik terputusnya Jembatan Geladak Perak.
Tenaga Ahli Bidang Kebencanaan Bupati Malang Bagyo Setiono di Pronojiwo, Kamis (9/12), mengatakan bahwa pengambilan sampel tanah guna menentukan jenis konstruksi untuk membangun jembatan itu.
"Tim dari PUPR mengambil sampel tanah sampai batuan yang paling keras di kedalaman berapa. Hal itu nantinya sebagai pertimbangan untuk membuat rencana pembangunannya," katanya.
Keberadaan Jembatan Geladak Perak sangat dibutuhkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada arus lalu lintas di kawasan tersebut. Namun, untuk kembali menyambungkan aliran ekonomi itu, membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Meskipun memakan waktu lama, warga kaki gunung yang memiliki kawah dengan sebutan "Jonggring Saloko" itu tetap berharap urat nadi ekonomi itu segera tersambung, agar kelangsungan hidup mereka bisa mendapatkan kepastian.