Lumajang (ANTARA) - Lantunan shalawat dan suara puji-pujian menyebut asma Allah subhanahu wa ta' ala (SWT) terdengar jelas bersahut-sahutan, dari mushala satu dan mushala lainnya di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Selain sebagai petunjuk untuk memanggil umat Islam menunaikan shalat Maghrib, lantunan dari pengeras suara itu penanda akan datang malam. Beberapa hari terakhir ini, waktu senja juga penanda peringatan bagi penduduknya agar segera meninggalkan lokasi untuk mengungsi.
Dari kawasan setempat, warga seperti tak akan mendapati secara kasat mata bagaimana matahari tenggelam di ufuk barat. Wajar saja, karena di sana terhalang oleh pepohonan besar dan kokohnya Gunung Semeru.
Desa Sumberwuluh dengan Gunung Semeru hanya berjarak sekitar 15 kilometer. Maka saat gunung api tertinggi di Pulau Jawa itu mengalami peningkatan aktivitas maka desa tersebut menjadi salah satu titik rawan terdampak.
Pada saat peristiwa awan panas guguran terjadi, Sabtu (4/11) sekitar pukl 15.20 WIB, di desa tersebut termasuk desa paling terdampak.
Jaraknya yang tidak terlalu jauh membuat abu vulkanik seperti hujan deras dan menutup atap-atap rumah, kendaraan, jalan, halaman hingga sempat membuat tubuh manusia berlumuran debu.
Bahkan, saat itu juga hujan turun cukup deras, ditambah padamnya lampu hingga membuat suasana seperti malam hari.
Setelah peristiwa semburan terjadi, masyarakat setempat diminta meninggalkan tempat tinggal masing-masing. Perangkat desa mengajak warga untuk mengungsi ke tempat lebih aman.
Untuk sementara, warga diungsikan ke beberapa titik, seperti balai desa, gedung SD negeri hingga ke rumah kerabat-kerabat yang dirasa aman.
Warga perempuan, anak-anak dan lanjut usia menjadi yang paling utama untuk diungsikan. Sedangkan, masyarakat laki-laki berjaga-jaga dan waspada untuk mengantisipasi hal-hal tak diinginkan.
"Kami ungsikan di balai desa dulu. Yang penting selamat dan mendapat tempat berlindung," kata Sekretaris Desa Sumberwuluh, Samsul Arifin.
Pemandangan berbeda di pemukiman tersebut terjadi pada saat pagi hingga siang dan sore sampai malam hari.
Saat pagi, pemilik rumah kembali dari pengungsian dan melakukan bersih-bersih di rumah masing-masing. Ada yang menyapu, mengepel, ada juga yang sekadar membawa baju tambahan dan barang-barang yang diperlukan untuk bekal di tempat pengungsian.
Meski tidak seperti sebelum-sebelumnya dengan kegiatan warga, namun masih tampak ramai karena aktivitas bersih-bersih rumah mempertemukan mereka dengan para tetangga.
Lalu lalang sepeda motor juga terlihat. Belum lagi ditambah kendaraan roda empat berpenumpang relawan-relawan yang akan melakukan proses evakuasi ke kawasan pemukiman Kampung Renteng.
"Kalau cuacanya cerah, saya minta izin ke petugas di posko untuk pulang sebentar bersih-bersih rumah," ujar Rasmi, salah seorang warga Kebonagung, Desa Sumberwuluh, ditemui di halaman rumahnya.
Rasmi adalah nenek berusia 60 tahun yang saat ini harus mengungsi di posko untuk sementara waktu demi kesehatan dan keselamatannya.
Meski rumahnya tidak terdampak langsung, namun ia mengaku tidak tenang dan memilih untuk mengungsi bersama tetangga-tetangganya.
“Anak saya ada yang di rumah saudaranya, ada juga yang di posko. Semoga suasananya segera kembali seperti dulu,” katanya.
Saat peristiwa meningkatnya Gunung Semeru, ia berlari menyelamatkan diri menuju Balai Desa Sumberwuluh yang terletak sekitar 200 meter dari rumahnya.
Akibat peristiwa tersebut, ia harus kehilangan dua keponakannya, bahkan seorang di antaranya sampai sekarang belum ditemukan.
Selain Rasmi, beberapa tetangganya juga berdatangan untuk membersihkan sisa abu, terutama di bagian depan dan dinding teras rumah.
Pemandangan berbanding terbalik 180 derajat saat menjelang sore hingga malam hari. Di sana, nyaris tak ada warga yang berani tinggal. Adapun hanya seorang kepala keluarga yang menunggui rumah dan tidak berani terlelap di dalam.
Dimulai dari gapura pintu masuk samping balai desa, sudah terlihat suasana sepi. Jalanan yang tidak rata dan baik turun, ditambah tinggi-tingginya pepohonan di beberapa kanan dan kiri jalan membuat siapa saja yang melintas untuk sejenak menghela napas. Bak pemukiman mati di malam hari.
"Ada anjuran dari perangkat desa dan petugas, kalau malam diminta untuk tidak tidur di rumah. Makanya saya mengungsi di rumah saudara di Desa Jarit," kata Pak In, begitu ia akrab disapa.
Desa Tangguh Bencana
Jaraknya yang tidak terlalu jauh dengan puncak Gunung Semeru, menjadikan Sumberwuluh harus menjadi "DESTANA" atau Desa Tangguh Bencana.
Secara geografis, Kecamatan Candipuro berbatasan dengan Kecamatan Sumberejo, Kecamatan Sumbermujur dan Kecamatan Jugosari.
Khusus Desa Sumberwuluh, luas wilayahnya 1.274,8 hektare, dengan jumlah penduduk sebanyak mencapai 10.164 jiwa, yang masing-masing rinciannya berjumlah 5.145 untuk laki-laki dan 5.019 untuk perempuan.
Desa Sumberwuluh terdiri dari 10 dusun,yakni Dusun Kebonagung, Dusun Kebondeli Utara, Dusun Kebondeli Selatan, Dusun Kamar Kajang, Dusun Sumberwuluh Tengah, Dusun Kampung Baru, Dusun Krajan, Dusun Sukosari, Dusun Poncosumo dan Dusun Kajar Kuning.
Para perangkat desanya juga telah melakukan langkah-langkah yang harus dilakukan saat terjadi bencana. Seperti, memasang banner-banner di titik strategis setiap dusun.
Isinya tentang peringatan dan upaya yang harus dilakukan saat terjadi bencana Gunung Semeru.
Langkah-langkah yang harus dilakukan warga dalam kegiatan siaga bencana dan tanggap menghadapi gunung api sesuai instruksi perangkat desa sebagai DESTANA, yakni sebelum terjadi letusan harus mengetahui jalur evakuasi dan shelter perlindungan, lalu mempersiapkan masker dan kaca mata pelindung mengantisipasi debu vulkanik.
Lalu, memerhatikan arahan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), serta mempersiapkan dukungan logistik diri dan keluarga.
Kemudian, saat letusan terjadi warga diminta berlindung di shelter perlindungan, memperhatikan arahan pihak berwenang selama di shelter, gunakan kaca mata pelindung debu vulkanik, dan menghindari daerah rawan bencana (lereng, lembah gunung dan daerah aliran lahar).
Warga juga diminta waspada terhadap kemungkinan bahaya kedua berupa banjir lahar dingin.
Selain itu, warga juga diingatkan tentang isi tas siaga bencana, yaitu kotak PPPK yang isinya obat-obatan, masker untuk menyaring udara kotor dan tercemar, peluit untuk minta tolong saat darurat, uang tunai untuk keperluan darurat atau bekal tiga hari.
Berikutnya, ponsel untuk memberi informasi dan cari tambahan, radio portabel untuk sumber informasi setelah bencana dan dokumen maupun surat-surat seperti kartu keluarga, ijazah, foto keluarga untuk kepentingan setelah bencana.
Selanjutnya, makanan tahan lama sebagai asupan pascabencana, air minum untuk kebutuhan sehari-hari, serta lampu senter sebagai alat bantu penerangan ditambah baterai tambahan.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak di sela kunjungannya ke Desa Sumberwuluh mengimbau kepada masyarakat setempat untuk tetap waspada dan mematuhi imbauan dari perangkat desa maupun petugas berwenang.
Menurut dia, jarak yang tidak terlalu jauh ditambah dataran rendah dan terdapat sungai aliran lahar dingin, membuat desa tersebut termasuk kawasan yang harus mendapat perhatian khusus.
"Apalagi di sini ada lokasi pemukiman yang sudah tertimbun abu vulkanik dan material, yaitu Kampung Renteng. Kami harapkan semua waspada dan tetap patuhi petunjuk petugas," katanya.
Orang nomor dua di Pemprov Jatim tersebut juga sempat melihat kondisi Kampung Renteng, termasuk beberapa dusun di Desa Sumberwuluh menggunakan roda dua.
"Suasana perkampungannya sudah sangat sepi. Syukurlah kalau semua warga sudah diminta mengungsi. Memang seharusnya tidak boleh ada yang tinggal di sini untuk sementara waktu," katanya.
Beberapa dusun di sekitar Kampung Renteng yang warganya harus mengungsi antara lain Dusun Kebonagung, Dusun Kebondeli Utara dan Dusun Kamar Kajang. (*)
Menyusuri dusun-dusun terdampak letusan Gunung Semeru
Jumat, 10 Desember 2021 18:07 WIB