Jakarta (ANTARA) - Makanan dan minuman manis sudah menjadi salah satu hal yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia.
Mulai dari makanan khas tradisional hingga makanan kekinian yang menjadi inovasi dalam industri food and beverages, seringkali didominasi rasa manis bersaing dengan cita rasa asin dan sensasi makanan pedas yang menjadi bagian dari beragamnya kuliner di Tanah Air.
Makanan dan minuman manis itu tak hanya digemari kalangan orang dewasa namun juga oleh anak- anak dengan kebutuhan gizi tertentu agar bisa mendukung pertumbuhan optimal. Semua rasa manis itu tentunya berasal dari satu bahan makanan yaitu gula.
Sayangnya seringkali bagi orang tua, gula menjadi hal yang berbahaya ketika sang buah hati mengalami kecanduan pada makanan manis dan menyebabkannya tak ingin mengonsumsi makanan lainnya yang padahal dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Untuk itu mari kita pahami seperti apa asupan gula yang tepat agar bisa memenuhi kebutuhan gizi si kecil hingga memahami cara menyiasati anak sehingga bisa mendapatkan gula yang tepat dan tidak kecanduan.
Manfaat gula
Masyarakat mengidentifikasi gula yang aman sebagai gula tambahan atau dalam istilah kimia dikenal dengan sebutan sukrosa. Gula tambahan merupakan hasil olahan dari tanaman seperti tebu atau pun hasil dari pohon aren dan kita mengetahui bentuknya yang dalam kristal- kristal kecil atau gula pasir putih maupun gula aren atau brown sugar.
Dokter Spesialis Gizi Klinik Putri Sakti yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) menyebutkan sebenarnya gula tidak terbatas pada jenis sukrosa saja namun juga bisa berasal dari banyak bahan makanan alami.
Misalnya seperti gula yang berasal dari buah atau disebut fruktosa maupun gula yang berasal dari susu dikenal juga dengan istilah laktosa. Sukrosa memiliki manfaat yang kurang lebih mirip dengan fruktosa.
Kedua jenis gula tersebut memiliki manfaat bagi tubuh si buah hati seperti menghasilkan energi, membentuk lemak sebagai cadangan energi, dan energi itu akhirnya bisa digunakan untuk beraktivitas sehari- hari.
Lalu untuk laktosa yang berasal dari susu sapi ataupun Air Susu Ibu (ASI) memiliki manfaat bagi anak- anak mulai dari memberi energi bagi perkembangan otak, memperlancar sistem pencernaan, hingga membantu pertumbuhan tulang.
Laktosa membantu pertumbuhan tulang dengan penyerapan kalsium yang lebih baik, termasuk membantu penyerapan asupan Zinc sehingga pertumbuhan tubuh anak bisa maksimal.
Dokter Putri menegaskan manfaat- manfaat tersebut baru bisa didapatkan jika sukrosa, fruktosa, dan laktosa bisa dikonsumsi dengan jumlah yang tepat dan tidak berlebih.
“Untuk orang tua, tidak perlu takut pada bahan gula. Karena melihat manfaatnya ini penting sekali untuk pertumbuhan anak- anak. Namun dengan catatan tidak boleh dikonsumsi berlebihan,” ujar dokter Putri.
Konsumsi gula
Konsumsi gula yang menjadi perhatian secara asupan gizi adalah terkait pemberian gula tambahan atau sukrosa.
Baik Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) hingga Kementerian Kesehatan keduanya menyarankan agar asupan pemberian gula pada anak dengan usia pertumbuhan yaitu 7-12 tahun bisa dibatasi maksimal 3 sendok makan atau setara dengan 20 gram gula setiap harinya.
Jumlah 20 gram itu artinya berasal dari seluruh total konsumsi makanan serta minuman yang dikonsumsi sang buah hati. Dihitung mulai dari makanan berat hingga kudapan seperti coklat, permen, permen kapas, serta gulali.
Idealnya orang tua harus menghitung jumlah gula yang terkandung di dalam makanan serta minuman yang dikonsumsi sang anak sehingga tidak lebih dari 20 gram. Seringkali hal ideal itu justru tidak terpenuhi dan anak- anak malah berakhir kecanduan pada konsumsi makanan dengan gula tambahan khususnya dari sisi kudapan.
Tentu itu menjadi bermasalah, mengingat ketika gula dikonsumsi berlebih malah memberikan lebih banyak dampak negatif dibandingkan dengan manfaat positifnya bagi pertumbuhan anak. Adapun dampak negatif dari konsumsi gula berlebih pada anak di antaranya seperti meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes jika konsumsi berlebih berlangsung dalam jangka panjang.
Dampak negatif lainnya adalah tubuh yang mengonsumsi gula berlebih akan memiliki banyak lemak, dan jika anak tidak aktif bergerak tentu lemak itu menjadi berbahaya sehingga anak mengalami obesitas atau kegemukan.
Kegemukan akibat gula pun semakin berpotensi tinggi terjadi di masa pandemi mengingat aktivitas anak akibat pandemi terbatas hanya di rumah saja. Kecanduan gula atau konsumsi gula berlebih pada anak juga ternyata dapat memicu ketidakseimbangan nutrisi yang diserap oleh tubuh anak.
Anak yang cenderung menyukai sajian makanan dan minuman dengan gula tambahan seringkali jarang menyentuh dan tidak menyukai makanan sehat terkhusus sayur. Dengan kondisi tersebut, tentu kandungan yang baik bagi tubuh dari sayur seperti vitamin dan mineral bisa jadi tidak didapatkan oleh anak sehingga tumbuh kembang anak bisa terganggu serta tidak optimal.
Gula berlebih juga merusak enamel gigi si kecil, membuat gigi anak mudah keropos hingga sulit untuk mencerna makanan.
Cara mengatur
Berkaca dari hal- hal negatif itu, tentu saja orang tua bisa melihat perannya sebagai garda terdepan untuk membatasi asupan gula sang buah hati sehingga tidak menjadi candu yang berbahaya
Oleh karena itu, orang tua harus bisa bijak dan rajin mengatur jadwal makan dan minum sang buah hati termasuk menyiapkan jadwal kudapan yang lebih sehat. Pada saat memasuki jadwal kudapan, ada baiknya orang tua memilih makanan atau minuman berbahan dasar alami dibanding gula tambahan.
Sebagai contoh orang tua lebih memilih memberikan buah potong dibandingkan dengan biskuit atau coklat, sehingga gula yang diolah pun lebih sehat bagi tubuh.
Pemberian jadwal makanan yang tepat, ternyata bisa berpengaruh juga pada selera makan anak di masa depan.
“Dengan memberikan makanan yang tidak terlalu manis atau tidak membutuhkan gula tambahan, tentunya anak menjadi lebih menyukai makan yang tidak terlalu banyak mengandung gula dan menyesuaikan dengan selera makan anak ke depannya,” ujar dokter yang berpraktek di RS Permata Cibubur itu.
Cara itu bisa dilakukan dengan mudah bagi anak yang tidak kecanduan gula, namun bagaimana dengan anak yang sudah terbiasa mengonsumsi kuliner bercita rasa manis dan berakhir kecanduan gula? Tentu saja hal itu masih bisa diatasi dengan cara pengurangan kadar gula pada makanan yang dilakukan oleh orang tua.
Misalnya yang tadinya anak terbiasa mengonsumsi gula tambahan dalam satu hari 4 sendok makan, perlahan orang tua mengurangi jumlah tersebut menjadi 3,5 sendok makan, lalu hingga akhirnya bisa mencapai jumlah yang lebih sedikit lagi.
“Ketika dikurangi kadar manisnya perlahan- lahan, anak pun bisa lepas dari kecanduan gula,” ujar dokter Putri.
Hal lainnya yang bisa dipakai untuk mengatur pemberian gula pada buah hati lewat pemeriksaan kandungan gizi dari kudapan.
Orang tua dengan aktif mengecek Fakta Nutrisi atau “Nutritition Facts” yang ada di kemasan makanan atau minuman untuk kudapan yang dibeli untuk keluarga terutama untuk buah hati.
Dengan demikian, orang tua bisa secara mudah menghitung jumlah gula harian untuk anaknya.
Terakhir, agar dampak negatif dari gula yang dikonsumsi berlebih bisa teratasi dengan baik maka orang tua harus mengajak anaknya untuk bergerak aktif maupun berolahraga.
Berdasarkan American Academy of Pediatrics (AAP) idealnya buah hati yang dalam masa pertumbuhan harus bisa berolahraga dan bergerak aktif paling sedikit selama 1 jam lamanya.
Ada pun olahraga yang disarankan untuk orang yang mengonsumsi gula berlebih dari kebutuhan hariannya merupakan olahraga yang dinamis seperti senam aerobik, renang, hingga berlari.
“Tujuan olahraga aerobik atau dinamis lebih disarankan karena pada saat bergerak dengan aktif, gula yang ada di dalam darah lebih mudah terolah di dalam sel- sel tubuh. Ketika seluruh tubuh bergerak tentunya sel menjadi lebih aktif mengelola gula tersebut,” ujar dokter Kartika Yulianti dari RSPAD Gatot Subroto.
Dengan beragam cara tersebut, tentunya anak bisa mendapatkan kebutuhan gula yang tepat dan asupan gizi yang seimbang sehingga pertumbuhannya dapat maksimal dan anak bisa terhindar dari faktor risiko penyakit kronis di masa depan. Pengaturan yang tepat membuat anak bisa mendapatkan kualitas hidup yang maksimal dan dapat memenuhi target generasi emas Indonesia di 2045. (*)