Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit jantung dari Universitas Indonesia dr. Radityo Prakoso, SpJP (K), FIHA, mengatakan penyakit jantung dapat dicegah sedini mungkin dengan mempromosikan pola hidup sehat dan proteksi yang spesifik untuk mengurangi sejumlah faktor risiko.
“Rantai pencegahan yang pertama adalah promosi kesehatan. Hal ini merupakan ujung tombak utama untuk memberikan promosi kesehatan kepada masyarakat. Sasarannya adalah orang sehat agar faktor-faktor yang dapat dimodifikasi bisa dikurangi,” kata Radityo saat diskusi virtual terkait pola makan pada Kamis.
Ia mengatakan pada dasarnya faktor risiko dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Riwayat keluarga, usia, dan jenis kelamin termasuk ke dalam faktor risiko yang tidak dapat dihindari.
Radityo yang merupakan Ketua Terpilih Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) mengatakan anggota keluarga yang menderita penyakit jantung, besar kemungkinan menurunkan risiko tersebut kepada anaknya. Selain itu, semakin seseorang bertambah usia maka risiko penyakit jantung koroner pun semakin besar.
Baca Juga : Pasien penyakit jantung dianjurkan vaksin COVID-19
Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) 2019 menyebutkan penyakit jantung koroner (ischaemic heart disease) menjadi jenis penyakit jantung yang tertinggi di dunia dengan proporsi 46 persen terjadi pada laki-laki dan 38 persen pada perempuan.
Radityo mengatakan kasus kejadian pada perempuan agak sedikit berkurang karena mereka memiliki faktor proteksi menstruasi sementara paparan risiko pada laki-laki lebih besar karena tidak memiliki faktor proteksi.
“Selama perempuan menstruasi relatif lebih aman, tetapi ketika dia sudah mencapai menopause maka risiko terkena penyakit jantung koroner ini menjadi sama dengan laki-laki,” ujar Radityo.
Baca juga : Tren penyakit jantung pada usia muda meningkat
Ia mengatakan faktor risiko lain, seperti diet makanan yang tidak sehat, merokok, kurangnya aktivitas fisik, merokok, dan stres dapat dikurangi untuk mencegah insidensi kejadian penyakit jantung lebih lanjut.
“Makanan sehat ini kadang terasa sulit tetapi sebetulnya gampang, kita harus memulai dari diri sendiri. Perubahan kecil yang terus-menerus akan jauh lebih baik dibandingkan melakukan perubahan besar tapi hanya beberapa saat saja,” ujarnya.
Radityo menyebutkan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyarankan konsumsi lemak cukup 25 persen dari energi total dan maksimum 67 gr atau 5 sendok per hari.
“Kalau kita lihat satu porsi gorengan itu kira-kira 28 persen mengandung lemak. Kalau nasi padang kira-kira 30 gr lemak atau sekitar 45 persen,” kata Radityo sambil mengingatkan bahaya konsumsi lemak berlebih.
Di masa pandemi seperti sekarang, kebanyakan orang bekerja dari rumah (work from home) dan lebih banyak menghabiskan waktu duduk menatap layar gadget. Radityo mengingatkan jika kondisi ini tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang aktif akan membahayakan kesehatan seseorang dan memperbesar peluang terkena penyakit jantung.
“Bedakan aktivitas fisik dengan ordinary activity. Kalau aktivitas fisik itu harus ada waktu khususnya dengan berusaha meningkatkan aktivitas aktif. Kalau setiap hari mengejar bus apakah itu aktivitas fisik? Ya belum,” katanya.
Faktor risiko lain yang dapat dihindari adalah merokok. Radityo menyebutkan 33 persen masyarakat Indonesia masih merokok. Permasalahan ini telah diatasi berbagai cara oleh PERKI namun belum membuahkan hasil signifikan.
“Saya kira ini harus mulai dari akar masalahnya, yaitu health promotion. Ketika orang tidak sadar tentang bahaya merokok dari dasar, akar masalahnya ini tidak akan selesai,” kata Radityo.
Terakhir, kondisi stres yang tidak diatasi dengan baik atau ketika tekanan darah meningkat menyebabkan seseorang mengalami serangan jantung.
Radityo mengatakan bagi orang yang sudah mengalami gejala atau terlanjur menderita penyakit jantung, hal utama yang harus dilakukan adalah melakukan sesi konsultasi dengan dokter spesialis. Ia menekankan bahwa resep dokter akan diberikan kepada pasien secara spesifik karena setiap orang memiliki tingkatan penyakit yang berbeda-beda.
“Tidak semuanya dipukul rata, misalnya tidak boleh makan lemak sama sekali. Hanya saja, hanya lemak baik yang kita konsumsi. Aktivitas fisik juga sebaiknya berkonsultasi dengan dokter karena setiap orang itu berbeda-beda. Misalnya, dokter akan melatih uji beban. Dengan uji beban ini, maka penderita akan mendapatkan resep untuk latihan, itu juga sifatnya personally design,” pungkasnya.(*)