Surabaya (ANTARA) - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Surabaya menemukan sekitar 78,9 persen produk pangan yang beredar menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah di Jawa Timur tanpa dilengkapi izin.
"Temuan ini merupakan hasil intensifikasi pengawasan pangan di Jatim tahun 2021," kata Kepala Balai BPOM Surabaya Rustyawati di Surabaya, Senin.
Rustyawati mengatakan intensifikasi ini dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari peredaran produk pangan olahan yang tidak memenuhi ketentuan, khususnya selama Ramadhan dan Idul Fitri 1442 Hijriah.
"Target diutamakan pada pangan olahan Tanpa lzin Edar (TIE), kedaluwarsa dan rusak (kemasan penyok, kaleng berkarat, dan Iain-Iain) pada sarana distribusi pangan (importir/distributor, toko, swalayan, supermarket. hypermarket, pasar tradisional, para pembuat dan/atau penjual parsel) serta pangan berbuka puasa (takjil)," katanya.
Rus, sapaan akrabnya, mengungkapkan meskipun bulan puasa, namun mendekati Lebaran cenderung ada peningkatan konsumsi pangan. Situasi tersebut kerap dimanfaatkan pedagang dengan meningkatkan pasokan bahan makanan.
"Tak jarang ditemukan bahan pangan yang di-supply tidak memenuhi standar pangan sehingga kami mengadakan intensifikasi pangan menjelang hari besar keagamaan," ujarnya.
Menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri intensifikasi dilakukan tiap pekan sejak bulan April hingga usai Lebaran
Dikatakan Rus, intensifikasi pemeriksaan produk pangan selama enam pekan ini mengalami peningkatan kepedulian pelaku usaha dibandingkan tahun lalu.
Hasil Intensifikasi Pengawasan Pangan sampai dengan 7 Mei 2021, jumlah sarana distribusi pangan yang diperiksa sebanyak 23 sarana di tujuh kabupaten/kota, yakni Surabaya, Pamekasan, Jombang, Gresik, Batu, Ponorogo, dan Lamongan, dengan hasil 14 sarana memenuhi ketentuan atau 61 persen dan sembilan sarana tidak memenuhi ketentuan atau 31 persen.
"Pada produk pangan di luar parcel, terdapat 109 produk atau 19 item tidak memenuhi ketentuan, dengan rincian produk tanpa izin edar sebanyak 86 produk atau 78,9 persen, rusak sebanyak 22 produk atau 20,2 persen dan kadaluwarsa sebanyak satu produk atau 0,9 persen," tuturnya.
Jumlah temuan ini dikatakan Rus, terbilang berkurang dibandingkan temuan tahun lalu. Hal ini menunjukkan kesadaran produsen dan pelaku usaha akan aturan pangan dan distribusi pangan.
Rus menyebut produk tanpa izin edar yang biasanya karena kurangnya pemahaman produsen akan perlunya izin edar untuk produk pangan yang lebih dari tujuh hari.
"Izin edar penting karena menjadi tanda awal bahwa produknya sudah dilaporkan keberadaannya dan telah dilakukan evaluasi oleh pemerintah bahwa produk aman," ujarnya.
Untuk temuan produk impor dimusnahkan produknya karena tidak ada pabriknya di Indonesia.
Sementara produk dalam negeri, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dilakukan pembinaan agar lebih memahami produksi yang baik.
"Kadaluarsa masih ada tapi sangat kecil, harapannya nanti pemilik ritel atau toko akan perlunya mengecek produk pangan untuk melihat kondisi produk," katanya.