Surabaya (ANTARA) - Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Kota Surabaya berharap ada solusi terkait adanya sengketa lahan di Jalan Pemuda Nomor 17 yang rencananya akan dibangun basemen Alun-Alun Surabaya antara Pemkot Surabaya dan PT Maspion.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Buchori Imron, di Surabaya, Senin, mengatakan sengketa lahan milik Pemkot Surabaya di Jalan Pemuda No.17 dengan PT Maspion segera dicarikan solusi dengan baik agar pembangunan Alun-Alun Surabaya cepat selesai.
"Harus segera dicarikan solusi agar masyarakat bisa menikmati adanya Alun-Alun Surabaya itu," katanya.
Selama ini, lanjut dia, pembangunan basemen Alun-Alun Surabaya yang didanai APBD Surabaya senilai Rp60 miliar itu saat ini masih ada kendala di lahan yang pernah disewa oleh PT Maspion itu. Sehingga pembangunan basemen Alun-Alun Surabaya masih belum bisa diperluas dari Balai Pemuda hingga ke Jalan Pemuda No.17.
Menurut dia, jika dari pihak PT. Maspion merasa dirugikan karena tidak diperpanjang sewa Hak Penggunaan Lahan (HPL) di persil Jalan Pemuda 17 oleh Pemkot Surabaya, maka alangkah baiknya Pemkot Surabaya juga memberikan solusi misalnya ruislag atau dicarikan lahan pengganti.
"Ini agar dari pihak Maspion juga tidak merasa dirugikan karena sejak 1996-2019, PT.Maspion tetap membayar retribusi pajak lahan," katanya.
Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Surabaya ini menambahkan dari catatan Pemkot Surabaya bahwa proyek basemen Alun-Alun Surabaya sudah berjalan hampir 40 persen, hanya belum bisa tembus ke lahan di Jalan Pemuda No.17 karena masih sengketa dengan Maspion.
Ia memberi saran agar Pemkot Surabaya segera menyelesaikan permasalahan lahan Pemuda 17, baik secara kekeluargaan ataupun secara hukum. "Kami di Komisi C Berharap ada win-win solution, agar program Pemkot Surabaya berupa Alun-Alun Surabaya bisa cepat selesai," katanya.
Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu sebelumnya mengatakan pihaknya memastikan akan terus menempuh langkah hukum untuk menyelamatkan aset Jalan Pemuda 17 itu.
Ia menjelaskan asal muasal sengketa tanah itu berawal pada 1994, persil seluas 3.713 meter persegi di Jalan Pemuda itu menjadi aset Pemkot Surabaya. Kemudian, pada 16 Januari 1996, Pemkot Surabaya dan PT Maspion melakukan perjanjian penyerahan penggunaan tanah dalam bentuk HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL (Hak Pengelolaan) selama 20 tahun.
"Setelah ditandatangani perjanjian penyerahan penggunaan tanah itu, lalu pemkot menerbitkan sertifikat HGB Nomor 612/Kelurahan Embong Kaliasin atas nama PT Maspion seluas 2.115,5 meter persegi. Sertifikat HGB ini berlaku hingga tanggal 15 Januari 2016, sehingga satu tugas pemkot sudah selesai di sini," katanya.
Selanjutnya, pada 19 November 1997, Pemkot Surabaya memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) berupa kantor kepada PT Maspion yang tertuang dalam surat bernomor 118/569-95/402.05.09/1997.
Berjalannya waktu, lanjut dia, ternyata persil itu belum dimanfaatkan maksimal oleh PT Maspion. Sebaliknya, PT Maspion malah mengajukan permohonan perpanjangan HGB di atas HPL pada 29 September 2015 dan disusul surat tanggal 7 Januari 2016 yang memohon percepatan HGB di atas HPL.
Menurut Yayuk, setelah berakhirnya perjanjian itu, Pemkot Surabaya sudah berkali-kali bersurat kepada PT Maspion yang menjelaskan bahwa persil itu akan digunakan sebagai Alun-alun Kota Surabaya dan akan dipakai sendiri untuk kepentingan masyarakat luas. Bahkan, Pemkot Surabaya pun sudah pernah mengeluarkan peringatan 1, 2 dan 3. (*)