Tulungagung (ANTARA) - Rusuh dalam penyelenggaraan pertandingan semifinal Piala Gubernur 2020 di Kota Blitar pada Selasa (17/2/2020) sungguh memprihatinkan. Mendengar dan membaca kabar beritanya saja rasanya pengen kesal bukan kepalang. Apalagi warga yang terdampak di sekitar lokasi rusuh.
Apalagi warga yang hanya "ketempatan" namun harus merugi karena sepeda motornya hangus dibakar, tanaman di sawahnya yang rusak, fasilitas toko ikut rusak hingga penjual kopi dan makanan yang belum sempat bayaran karena kekacauan keburu datang.
Lebih memprihatinkan, kerusuhan terjadi di Kota Blitar yang selama ini masyarakatnya hidup tenang penuh guyup rukun. Meski awalnya, kedatangan para suporter dari dua kubu yang bertanding disambut baik dan penuh sukacita, bentrok yang berujung kerusuhan massa telah merisak segalanya.
Kita masih sedikit bersyukur tidak sampai ada korban jiwa. Tapi kerusakan yang terjadi, efek trauma yang ditinggalkan sudah cukup bagi kita semua untuk menyalakan lampu merah. Hal seperti ini tidak perlu terjadi lagi. Tidak boleh bahkan.
Harus ada upaya preventif dan solutif guna melakukan pencegahan secara dini agar budaya anarkis massa seperti bentrok antara suporter Aremania dan Bonekmania tidak terjadi lagi. Lalu bagaimana caranya? Tentu jawabnya tidak cukup diserahkan ke aparat keamanan.
Polisi, sekalipun di-backup TNI. Toh kemarin, sekalipun laga semifinal antara Persebaya FC vs Arema FC dilakukan tertutup tanpa penonton, pengamanan berlapis-lapis, akses masuk dalam kota ditutup untuk semua kendaraan, bentrok tetap saja terjadi.
Seruan moral saja juga tidak akan mempan. Hati para suporter yang suka anarkis ini sepertinya sudah 'mambal'. Tidak mempan dengan pencerahan yang seringkali disampaikan dengan nada bahasa yang klise dan formalis.
Jadi harus ada tindakan disiplin tegas dan keras. Kepada siapa? Ya tentunya kepada manajemen klub sepak bola bersangkutan. Kan selama ini sudah dilakukan?! Ya berarti harus lebih tegas lagi, lebih keras lagi. Karena hanya dengan cara itu energi negatif suporter bisa diminimalkan. Bahkan dinisbikan.
Logikanya kira-kira sama dengan teori hasil akhir dalam manajemen pertandingan sepak bola itu sendiri. Bahwa siapapun manajernya, sebagus apapun permainan tim, sedominan apapun penguasaan bola di lapangan, tetap saja hasil akhir yang menjadi standar acuan penilaian tim secara keseluruhan.
Sia-sia bin percuma saja permainan sepak bola yang ciamik, penguasaan bola unggul jika hasil akhirnya keok. Sebaliknya, sekalipun cara bermainnya tidak bagus-bagus amat, kalah penguasaan bola, bahkan ada yang menggunakan taktik "parkir bus" dengan menumpuk pemain di area pertahanan dan mengandalkan serangan balik, jika itu berujung kemenangan, maka dialah yang layak disebut terbaik. Jika sudah begitu, ujung-ujung penilaian kembali kepada sang manajer.
Hasil akhir pula yang akhirnya menjadi acuan rapor kinerja pelatih dan manajer. Kalau rapor hasil akhirnya drop, jelek, ya tentu mekanisme sanksi dari club akan berjalan. Demikian juga dengan simpati para pendukungnya. Teori ini bekerja efektif di hampir semua club, baik skala nasional maupun internasional.
Nah, logika dan teori semacam ini yang harus diberlakukan PSSI kepada setiap manajemen klub. Menjadi urusan dan tanggung jawab club-lah kendali atas polah-tingkah suporter ini dibebankan.
Jangan membuat kambing hitam dengan memakai istilah "oknum" suporter. Sebab sekalipun ada penyusupan, manajemen suporter dari masing-masing klub harus bertanggung jawab penuh. Jika terjadi bentrok, rusuh yang masif dan destruktif, klub mutlak mengambil alih tanggung jawabnya.
Di sinilah PSSI selaku operator sekaligus regulator harus tegas dan berkomitmen menjalankan fungsinya. Disiplinkan klub. Buat aturan yang jelas dan tegas, dengan mekanisme sanksi yang keras agar masing-masing klub bisa mengendalikan psikologis massa suporternya.
Dengan segala kreativitas masing-masing, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan. Selama ada komitmen bersama, sederet mekanisme sanksi disiplin ditegakkan, di titik itu klub akan mencari jalan keluar sendiri untuk melakukan pembinaan terhadap suporternya yang memiliki ragam karakter dan latar belakang.
Kalau di negara-negara yang memiliki budaya sepakbola kuat saja bisa, maka kita juga pasti bisa. Jika tidak, rasanya percuma bangsa ini mendengung-dengungkan slogan "SDM Unggul, menuju Indonesia Maju". Masak kita mau dicap sebagai negara bar-bar?! Masya Allah, janganlah. (*)