Tulungagung (Antaranews Jatim) - Ratusan warga adat empat desa di Tulungagung selatan menggelar ritual "ulur-ulur" dengan meruwat dua miniatur patung Dewi Sri Sedono dan Dewa Toyo Sedono di tepi Telaga Buret, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Jumat.
Tradisi turun-temurun yang diklaim telah berusia ratusan tahun tersebut dipertahankan masyarakat adat setempat sebagai upaya menjaga budaya leluhur sekaligus bentuk syukur atas kemurahan Sang Pencipta yang telah memberikan sumber air abadi di Telaga Buret.
Dalam kepercayaan adat Jawa, sumber air diisyaratkan sebagai "cikal bakal" kehidupan sehingga harus dijaga dan dilestarikan.
"Tradisi ini merupakan ruwatan atau pepetri yang kami lakukan untuk mensyukuri nikmat Yang Maha Kuasa karena telah memberikan kelestarian alam dan sumber air yang menghidupi masyarakat di empat desa sekitar Telaga Buret," kata sesepuh masyarakat adat Desa Sawo, Sumiran.
Ritual ulur-ulur itu sendiri kini telah dikemas sebagai wisata budaya. Jika era dulu digelar dengan hanya menggelar kesenian tayuban dan ruwatan dua patung dewa-dewi di tepi Telaga Buret, beberapa tahun terakhir kemasannya ditambah dengan pawai budaya atau arak-arakan dari Balai Desa Sawo menuju Telaga Buret yang berjarak kurang lebih 1 kilometer.
Ratusan siswa dari sekolah terdekat, baik tingka SD, SMP dan SMA dikerahkan.
Mereka berbaur dengan masyarakat umum yang sengaja datang ingin melihat tradisi ulur-ulur di Telaga Buret.
Sayang dalam gelaran kali ini Pj Bupati Tulungagung Jarianto dan unsur forkopimda tak hadir. Hanya Kepala Dinas Pariwisata Heru Santoso datang mewakili.
Padahal tahun-tahun sebelumnya, Bupati Syahri Mulyo selalu menyempatkan hadir.
Operasi penggeledahan sejumlah kantor dinas dan rumah pribadi sejumlah pejabat dan pengusaha lokal diduga menjadi penyebab ketidakhadiran Pj Bupati Jarianto yang berlatar belakang Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jatim itu.
"Beliau nitip salam dan menyampaikan sambutan yang saya bacakan ini," kata Heru saat membacakan sambutan Pj Bupati Jarianto.
Diselingi hiburan kesenian barongan yang ditonton warga di sisi berbeda, warga adat melakukan ritual ulur-ulur di Telaga Buret dengan meruwat miniatur patung Dewi Sri Sedono dan Dewa Toyo Sedono.
Dua simbol kemakmuran perlambang kesuburan dan sumber air. Ruwatan dilakukan dengan merias kedua patung dewa tersebut diiringi gending-gending Jawa yang bernuansa magis.
Seremoni ruwatan diakhiri dengan melempar sesaji kembang ke tengah Telaga Buret oleh sesepuh dan masyarakat adat serta sejumlah tamu undangan.
"Ruwatan ini kami pertahankan untuk menghindari `pagebluk meganturan` (musibah besar yang berkepanjangan) seperti pernah terjadi pada awal sejarah digelarnya ritual ulur-ulur ini ratusan tahun lalu," tuturnya.
Dalam upacara ulur-ulur disediakan sejumlah sesaji, berupa nasi kebuli, sekul (nasi) suci ulam sari, ambeng mule, buceng robyong, buceng kuat, jenang sengkala serta aneka jajanan dan hasil bumi.
Masing-masing warga desa membawa kue yang berbeda warnanya. Semua dimasukkan ke dalam bokor kecuali kendi, tikar, dan topi janur.
"Dulu aneka makanan ini sebagian dilarung dan sebagian lagi dipurak (diperebutkan warga). Namun seiring waktu tradisi ini (purak tumpeng/berkat) kami hilangkan untuk menghindari bentrokan dan diganti dengan pembagian nasi kotak dan jajanan pasar kepada seluruh pengunjung," tutur Sumiran. (T.KR-DHS)
Warga Adat Telaga Buret Gelar Ritual "Ulur-ulur"
Jumat, 20 Juli 2018 20:19 WIB
"Tradisi ini merupakan ruwatan atau pepetri yang kami lakukan untuk mensyukuri nikmat Yang Maha Kuasa karena telah memberikan kelestarian alam dan sumber air yang menghidupi masyarakat di empat desa sekitar Telaga Buret," kata sesepuh masyarakat adat Desa Sawo, Sumiran.