"Sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati" yang artinya kalau diinjak harga dirinya, diganggu ketenteramannya akan bersatu melawan, meski memiliki keterbatasan. Itulah falsafah Jawa yang sangat populer ketika Tanah Airnya dinjak-injak pada masa penjajahan Belanda.
Falsafah itu dalam catatan sejarah sempat popluer di Surabaya, ketika pada tanggal 10 November 1945 daerah dengan julukan Kota Pahlawan itu diserbu tentara Inggris yang diboncengi NICA, dan Bung Tomo menggelorakan semangat Arek-arek Soroboyo untuk berperang walau kalah dalam segala hal, melalui semangat "rawe-rawe rantas malang-malang putung".
Sehingga, terjadilah pertempuran heroik kala itu karena kedaulatan negara sudah tidak dihormati dan Tanah Air telah diinjak-injak. Dan kini, setiap tanggal 10 November diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Pahlawan.
Falsafah, dalam artian Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai makna anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar dimiliki oleh orang atau masyarakat, atau semacam pandangan hidup.
Pandangan hidup terkait semangat pantang menyerah itulah yang kini masih terlihat di benak Arek-arek Suroboyo itu. Terbukti ketika kejadian bom meledak di tiga gereja kota itu sejumlah warga Surabaya langsung melawan dengan ramai menggunakan hastag atau tanda pagar (tagar) #SurabayaWani, dalam akun media sosialnya masing-masing. Surabaya wani artinya Surabaya berani.
Memang diakui beda zaman beda pula cara perlawanannya, karena tidak mungkin Arek Suroboyo yang kini sudah masuk dalam lingkaran generasi Z berperang seperti tahun 1945, lalu bahu membahu mengangkat senjata dan berlarian.
Namun demikian, ekspresi semangat dan bangkit ketika harga dirinya dinijak-injak dan diganggu ketenteramannya terlihat masih ada, dan tumbuh subur meski dengan cara berbeda.
Hastag lainnya yang juga ramai di media sosial masing-masing #Surabayaaman, #Kamitidaktakut, #SurabayaMelawan hingga kata umpatan khas dari Surabaya juga muncul seperti #TerorisJancuk.
Kata-kata bernada mendorong semangat dan perlawanan Arek Suroboyo kepada aksi terorisme itu banyak menghiasi beberapa layar media sosial, pada Hari Minggu ini, seperti twitter, Instagram, hingga Facebook milik warga, sebagai simbol pembuktikan masyarakat Surabaya melawan kepada teroris.
Salah satu kicauan warga Surabaya di media sosial yang dipantau Antara, yakni dari Aris Ernanto melalui akun twitternya @Arisern mengatakan, pengeboman di Surabaya dipastikan dilakukan oleh orang tidak beragama, karena orang yang beragama selalu menyebarkan kedamaian, dan turut berduka cita atas peristiwa itu. Kicauan itu diakhiri dengan #SuroboyoWani.
Sedangkan di Instagram, tagar #SurabayaWani sudah mencapai 1.756 kiriman, salah satunya dari akun @anisfauzi480 yang mengatakan bahwa agama tidak mengajarkan kita membunuh saudara sendiri, yang ditutup dengan #SurabayaWani, #surabayatidaktakutteroris dan #prayforsurabaya.
"Masyarakat Surabaya itu tidak akan pernah takut pada terorisme, sebab dengan semboyan `Sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati`, mereka akan bersatu melawan aksi-aksi teror semacam ini," kata La Nyalla Mahmud Mattalitti, tokoh masyarakat yang juga Ketua Umum Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Jawa Timur.
Turun Lapangan
Aksi bangkit melawan aksi terorisme itu tidak hanya dilakukan di dunia maya, beberapa elemen pemuda organisasi kemasyarakatan di Kota Surabaya juga turun ke jalan menyuarakan perlawanan mereka. Tercatat sejumlah elemen hadir, seperti BAMAG Surabaya, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Surabaya, GAMKI, PPGI, BKS PGI-GMKI Surabaya , PS GMKI, KNPI dan Forum Beda Tapi Mesra (FBM).
Selain itu, elemen lain juga melakukan hal yang sama seperti GGBI, PIKI, NERA ACADEMIA, PGIS, Kasih dalam Perbuatan, Sanggar Merah Merdeka, Forum Komunikasi Pemuda Kristen Indonesia Jatim, Pustaka Lewi, KBRS, Yayasan Kasih Bangsa, Yayasan Abdi Indonesia Cerah, dan sejumlah pendeta serta romo di Surabaya.
Aksi mereka, dilakukan dengan mengampanyekan gerakan "Suroboyo Wani" melalui aksi keprihatinan atas insiden bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, serta aksi ratusan tanda tangan dukungan terhadap Polri untuk mengusut tuntas kasus tersebut, termasuk ucapan duka cita terhadap lima personel Brimob yang meninggal dunia dalam insiden terorisme di Mako Brimob Kelapa Dua beberapa waktu lalu.
Aksi lain yang menunjukkan kebangkitan warga kota adalah ramainya kunjungan pedonor darah ke Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surabaya Jalan Embong Ploso, terlihat ratusan warga datang dan mendonorkan darahnya di tempat itu.
Dalam catatan PMI Kota Surabaya, jumlah pedonor meningkat tajam pascakejadian ledakan bom di tiga gereja, dari hari biasa hanya 400-an orang, kini naik mencapai 600 orang-an, atau melebihi target dalam situasi normal.
"Kalau biasanya, per harinya kami ada target sekitar 400-an, tapi hari ini membeludak setelah insiden itu. Masyarakat rasa pedulinya luar biasa," kata Kepala Bagian Pelayanan Donor UTD PMI Surabaya dr Martono Adi Triyuko.
Antusiasme warga Kota Surabaya untuk membantu para korban ledakan bom, khususnya yang kondisinya sangat membutuhkan darah, dan dengan mendonorkan darah diharapkan bisa menyelamatkan korban ledakan bom yang dirawat di sejumlah rumah sakit di Surabaya.
Ledakan bom bunuh diri menimpa tiga gereja di Surabaya, yakni Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di wilayah Ngagel, kemudian GKI Wonokromo Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuna, yang mengakibatkan korban tewas sementara berjumlah 13 orang.
Ledakan itu, juga menyita perhatian Presiden Joko Widodo yang langsung mendatangi lokasi ledakan di tiga titik Kota Surabaya, serta menjenguk korban selamat yang dirawat di RS Bhayangkara.(*)
Falsafah Jawa Bangkitkan Asa Warga Surabaya dari Ledakan Bom
Minggu, 13 Mei 2018 23:52 WIB
Aksi lain yang menunjukkan kebangkitan warga kota adalah ramainya kunjungan pedonor darah ke Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surabaya Jalan Embong Ploso, terlihat ratusan warga datang dan mendonorkan darahnya di tempat itu.