Surabaya (Antara Jatim) - Sekitar 99 perumahan berdiri di kawasan lahan konservasi Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) yang selama ini dilarang untuk dibangun pemukiman.
"Lurah dan camat bertanggung jawab terhadap penggunaan lahan konservasi untuk kawasan permukiman. Sebab, mereka ini yang mengetahui namun tidak lapor terhadap pemerintah kota," kata Ketua Komisi C Bidang pembangunan DPRD Surabaya Syaifudin Zuhri saat melakukan sidak di kawasan Pamurbaya, Selasa.
Menurut dia, semestinya lurah memberikan informasi kepada masyarakat apa yang dilakukan melanggar rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Dia yakin, pembangunan kawasan di lahan konservasi sudah disengaja.
"Ini ada unsur kesengajaan, tidak mungkin lurah tidak memahami perda, kalau itu terjadi berarti lurahnya perlu di-bimtek (bimbingan dan teknis)," katanya.
Kabid Tata Bangunan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Lasidi mengaku tidak pernah mengeluarkan izin terhadap pembangunan rumah warga sebab lahan yang ditempati masuk dalam kawasan konservasi.
"Kami tidam mengeluarkan izin dan tidak akan mengeluarkan izin sampai kapanpun," ujarnya.
Karena itu, kata dia, pihaknya sudah memberi informasi kepada warga. Selain informasi, pihaknya sudah meminta Satpol PP Kota Surabaya untuk melakukan penyegelen rumah dengan memberi tanda silang.
Sejauh ini, lanjut dia, Pemkot Surabaya tidak bisa memberikan sanksi terhadap pengembang dan warga. Sebab, pihaknya masih mencari solusi agar kawasan konservasi itu tidak lagi menjadi pemukiman warga.
"Paling bisa dilakukan adalah pembebasan secara bertahap biar masyarakat tidak dirugikan," katanya.
Syaifuddin mengatakan pembebasan lahan tidak mudah karena butuh anggaran yang tidak sedikit. Apalagi pemukiman itu sudah masuk dalam pelepasan tahap lima sehingga APBD Kota Surabaya satu tahun tidak cukup untuk mengganti rugi.
Anggota Komisi C lainnya Vinsensius Awey memandang pembangunan liar di kawasan konservasi mengindikasikan keteledoran pemerintah kota karena camat dan lurah tidak melakukan pengawasan yang baik.
Awey mengatakan pemukiman warga itu harus dibebaskan karena jika tidak, warga yang akan menjadi korban. Mereka memiliki lahan, tetapi tidak bisa dimanfaatkan untuk lainnya.
"Anggaran tahunan harus terus dianggarkan bagi pembebasan. Kendati kekuatan fiskal daerah belum mampu membebaskan semuanya. Namun yang penting ada kemauan untuk terus menganggarkannya bagi pembebasan lahan seacara bertahap," katanya.
Salah seorang warga setempat Rio mengaku membeli lahan seluas 10x20 pada tahun 2012 yang harganya Rp90 juta. Saat membeli, dia mengaku tidak tahu kalau lahan itu kawasan konservasi.
"Waktu itu petok D, di setplan tidak dikasih tahu (konservasi)," katanya.
Rio mengatakan lahan di daerah itu merupakan milik warga, bukan dimiliki Pemkot Surabaya. Pembangunan rumah cukup banyak dan jarak pantai dengan rumah paling ujung saat ini hanya berjarak 2,5 KM. (*)