Narasumber, baik pejabat tinggi maupun kalangan pesohor, kerap menyampaikan pernyataan tertulis melalui berbagai media sosial.
Pernyataan pada media sosial itu kemudian dikutip oleh pekerja media massa atau pers sebagai bahan berita yang menarik perhatian umum.
Kasus penangkapan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman, tidak hanya menarik karena memperpanjang deretan pejabat tinggi negara yang berhasil dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi juga menarik dengan pernyataan tertulisnya yang disebarkan melalui media sosial twitter.
Irman tertangkap tangan oleh penyidik KPK di kediaman dinasnya di kawasan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan pada Sabtu (17/9) dini hari karena menerima suap sebesar Rp100 juta dari pengusaha Xaveriandy Sutanto dan Memi yang juga ditangkap saat dan di tempat yang sama itu.
Suap terkait dengan pemberian hadiah dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto kepada Irman dalam menyampaikan rekomendasi kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) mengenai pengaturan distribusi gula di Sumatera Barat.
Sumatera Barat merupakan daerah asal pemilihan dari Irman Gusman yang sedang berada dalam periode kedua dalam jabatan Ketua DPD RI.
Pada Sabtu (17/9) sore, berbagai media massa memberitakan pernyataan tertulis Irman dari akun twitternya, @IrmanGusman_IG, dalam delapan kali cuitan (twit). Isinya berisi bantahan bahwa dirinya ditangkap karena menerima uang suap.
Irman juga menceritakan dia menerima tamu. Ribuan tamu itu datang dengan berbagai motif. Ada tamu yang datang dengan motif minta tolong dan membawa sesuatu. Ia pun tak bisa menolak orang yang datang bertamu dan minta tolong. Meski begitu, ia juga tidak bisa melarang orang membawa sesuatu.
Disampaikan pula ada beberapa tamu yang datang hari itu Ia menilai mungkin, dari sekian tamu yang datang, ada yang membawa uang. Irman juga menyatakan bahwa dia berhak menolak dan telah menolak uang itu.
Sepintas tak ada yang salah dari pernyataan tertulis itu karena akunnya merupakan akun resmi Irman. Isinya yang merupakan bantahan dan penjelasan pun menjadi menarik untuk diberitakan bagi penyebaran berita dan informasi kepada publik.
Ternyata oleh KPK isi pernyataan dan berita itu adalah bohong dan merupakan kebohongan.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menegaskan bahwa Irman setelah ditangkap dan diperiksa, tidak memiliki akses untuk menyampaikan informasi melalui telepon genggam. Cuitan dalam twitter itu dilakukan oleh staf Irman Gusman.
Isi penjelasan Irman juga dinilai KPU sebagai upaya memutarbalikkan fakta yang ada. KPK mengingatkan untuk menghentikan pemutarbalikan fakta tersebut.
Cek ulang
Bisa dianalisis bahwa pekerja media massa atau pers terlalu cepat dalam mempercayai pernyataan Irman melalui akun twitter itu sebagai pernyataan dirinya. Dalam persaingan adu kecepatan berita dan informasi pada media massa ini, faktor kehati-hatian menjadi kurang diperhatian, yakni melakukan cek dan cek ulang (check and recheck).
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, termasuk berbagai layanan distribusi informasi melalui media sosial yang memiliki daya siar amat luas dalam waktu seketika, banyak dimanfaatkan oleh pejabat tinggi maupun kalangan pesohor untuk menyampaikan informasi yang terkait dengan dirinya.
Butir (c) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranannya, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
Sementara Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Menguji informasi berarti melakukan "check and recheck" tentang kebenaran informasi itu.
Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pegangan insan pers, terakhir kali ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Dalam pemberitaan tentang bantahan dan penjelasan dari Irman itu tentu saja pers tidak bohong atau melakukan kebohongan karena jelas sumbernya berasal dari akun twitter milik Irman.
KPK menilai penjelasan dari Irman itu merupakan bohong karena KPK sangat jelas mengetahui bahwa informasi itu tidak disampaikan oleh Irman melainkan oleh orang lain yakni stafnya.
"Ghost writer"
Fenomena "ghost writer" atau penulis hantu untuk menyampaikan berbagai sikap, pendapat, atau pandangan, pejabat tinggi atau kalangan pesohor yang seolah-olah merupakan sikap, pendapat, atau pendangan pejabat tinggi atau kalangan pesohor itu memang marak dewasa ini.
Penulis yang memakai jati diri pejabat tinggi atau kalangan pesohor ini tidak hanya menulis biografi tetapi juga karya tulis lain termasuk dalam penyebarluasan informasi melalui beragam media sosial.
Istilah "ghost writer" mencuat tatkala terbit buku biografi Chairul Tanjung yang laris terjual. Ada pihak yang mengakui bahwa penulisnya bukan orang yang tercantum pada buku itu tetapi orang lain.
Bagi pejabat tinggi seperti Irman Gusman tentu saja memiliki staf yang bertugas khusus menuliskan sikap dan pandangannya atas berbagai persoalan menarik perhatian publik, terlebih lagi kasus yang menimpa Irman.
Insan pers tampaknya juga perlu memahami bahwa seseorang yang sedang ditangkap dan diperiksa intensif atas kasus hukum tidak memiliki akses untuk berkomunikasi melalui telepon kepada orang luar apalagi menyebarluaskan sikap dan pandangannya melalui media sosial yang ada pada telepon genggamnya. Alat komunikasi seperti telepon genggam tentu saja disita aparat penegak hukum.
Pihak kuasa hukum yang biasanya menjelaskan sikap dan pandangan serta kondisi kliennya dan itu bisa menjadi bahan berita yang layak kutip.
Atau melakukan "doorstop" untuk melakukan wawancara langsung dengan pihak tersangka.
Dalam kasus Irman, pers dapat meminta penjelasan langsung saat setelah dia diperiksa dan akan dimasukkan ke tahanan KPK di Pomdam Jaya, Guntur, Jakarta Selatan. Sayangnya, Irman saat itu bungkam.
Kasus ini setidaknya bisa menjadi pembelajaran bagi pers bahwa pernyataan narasumber, baik pejabat tinggi maupun kalangan pesohor, melalui media sosial tidak disampaikan langsung oleh dirinya sendiri.
Pers harus tetap mengibarkan Kode Etik Jurnalistik dalam memberitakan peristiwa menarik perhatian publik, tidak sekadar asal cepat tersiar.(*)