Kota Gaza, (Antara/Xinhua-OANA) - Bulan suci Ramadhan adalah masa pesta spiritual dan kesempatan bagi anggota keluarga untuk berbagi Iftar (makanan berbuka) yang lezat saat Matahari terbenam, tapi buat banyak warga Jalur Gaza Ramadhan tahun berisi aroma kemiskinan.
Sekalipun pasar umum Az-Zawya di pusat Kota Gaza dipenuhi orang, yang datang untuk berbelanja persiapan puasa --yang dimulai Senin (6/6), Fayez Al-Bitar --seorang pedagang buah-- tidak sepenuhnya puas karena lemahnya daya beli masyarakat.
Pedagang buah yang berusia 64 tahun itu mengeluh bahwa membeli buah dan barang lain seperti produk makanan, kurma dan produk susu pada hari pertama Ramadhan tidak positif. Sebabnya ialah memburuknya ekonomi dan tingginya angka pengangguran serta kemiskinan di Jalur Gaza, daerah kantung sempit dengan sebanyak dua juta warga.
Karena memahami kondisi hidup yang sulit, bukan hanya Al-Bitar, tapi sejua semua pedagang lain yang menjual berbagai jenis produksi di pasar Jalur Gaza pada awal pekan ini mengumumkan potongan harga.
"Bahkan kampanye penjualan tidak membantu meningkatkan dan mendorong daya beli di pasar," kata Al-Bitar, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi. Ia menambahkan, "Rak di toko dipenuhi demikian banyak produk, tapi masalahnya ialah rakyat tak memiliki cukup uang untuk membeli semua yang mereka perlukan bulan ini."
Selama Ramadhan, umat Muslim tidak makan, minum dan berhubungan suami-istri sejak Subuh hingga Maghrib.
Saeed Taleb, seorang pembeli disatu pasar Jalur Gaza, mengatakan kepada Xinhua bahwa "kondisi ekonomi sangatberat dan blokade Israel telah membuat keadaan bertambah buruk sebab itu telah membantu meningkatkan angka pengangguran dan selanjutnya kemiskinan".
Pada 2006, Israel memberlakukan blokade atas Jalur Gaza, dan pada 2007, Israel menganggap daerah kantung Palestina tersebut sebagai wilayah yang bermusuhan dan telah memperketat blokade setelah Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) melalui kekerasan mengambil-alih kekuasaan atas wilayah itu. Blokade tersebut beberapa kali dihentikan, tapi tak pernah dicabut.
Heba An-Naffar, seorang ibu rumah tangga di Jalur Gaza --yang pergi berbelanja buat keperluan Ramadhan bersama putra dan putrinya, mengatakan kepada Xinhua, "Harga masih wajar buat sebagian barang, tapi sangat mahal buat barang lain." Ia menambahkan, "Ini membuat orang mencari barang yang lebih murah sekalipun kualitasnya jelek."
Wanita tersebut juga mengatakan, "Hari ini saya membeli beberapa lentera Ramadhan buat anak-anak agar mereka bisa bergembira di tengah hari-hari yang suram ini." Ia menyatakan ia harus membeli empat lentera Ramadhan buat empat anaknya, dan masing-masing lentera berharga 10 shekel (sekitar 2,6 dolar AS).
Kemiskinan terlihat nyata di kalangan sebagian besar orang Palestina, terutama buruh --yang telah kehilangan pekerjaan mereka akibat kurangnya pembangunan dan bahan mentah akibat penutupan perbatasan Mesir dan Israel.
Menurut organisasi internasional dan badan PBB, lebih dari 60 persen rakyat Jalur Gaza hidup dalam kerawanan pangan sementara ratusan ribu orang mengandalkan bantuan makanan dari luar negeri.. Satu laporan dari Bank Dunia mengatakan Jalur Gaza berada pada posisi ketiga di seluruh Wilayah Arab dalam masalah kemiskinan setelah Sudan dan Yaman.(*)
Rakyat Jalur Gaza Sambur Ramadhan di tengah resesi Ekonomi Parah
Rabu, 8 Juni 2016 11:15 WIB