Surabaya, (Antara Jatim) - Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP IPPAT)
Syafran Sofyan mengakui hingga kini PPAT-Notaris masih belum mendapatkan
perlindungan hukum terhadap pihak yang beriktikad buruk.
"Misalnya, ada pihak yang bersengkongkol untuk menuntut PPAT-Notaris dengan berbagai macam modus operandi dalam hal ini mencari-cari kesalahan terutama oleh mafia tanah," katanya saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk "Persamaan persepsi PPAT-Notaris dengan penegak hukum, dalam dugaan pelanggaran hukum tindak pidana" di Universitas Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan, saat ini juga banyak di antara PPAT-Notaris yang tersandung kasus hukum terkait dengan surat yang diterbitkan itu.
"Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya persamaan persepsi supaya antara penegak hukum dengan PPAT-Notaris," katanya.
Ia menyebutkan, jika seorang Notaris mendapatkan amplop berwarna cokelat dari petugas kepolisian maka notaris tersebut akan bingung atas kesalahan yang dilakukan.
"Ada notaris yang bingung terkait kesalahan yang dilakukan setelah menerbitkan surat. Karena panggilan itu berlangsung dua tahun kemudian," katanya.
Oleh karena itu, harus adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dengan petugas PPAT-Notaris. Ini bisa memberikan dampak positif bagi petugas PPAT-Notaris terkait dengan masalah hukum.
"Tentunya persamaan persepsi ini harus terus dilakukan mulai dari tingkat atas sampai dengan tingkat bawah dan juga dilakukan secara terus-menerus," katanya.
Sementara itu, Kasubdit II Tipid Harda Bangtah Polda Jawa Timur AKBP Heru Prasetyo mengatakan petugas PPAT-Notaris yang tersandung masalah lebih banyak dikenakan pasal 266 KUHP tentang keterangan palsu atau pemalsuan surat.
"Selain itu, ada juga pasal 55 dan pasal 56 KUHP tentang penyertaan tindak pidana," katanya.
Ia mengatakan, dalam menentukan permasalahan mulai dari penyelidikan sampai dengan penyidikan harus disertai dengan dua alat bukti.
"Sesuai dengan instruksi dari atasan memang harus menyertakan dua alat bukti jika ingin melanjutkan sebuah kasus," katanya.(*)
"Misalnya, ada pihak yang bersengkongkol untuk menuntut PPAT-Notaris dengan berbagai macam modus operandi dalam hal ini mencari-cari kesalahan terutama oleh mafia tanah," katanya saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk "Persamaan persepsi PPAT-Notaris dengan penegak hukum, dalam dugaan pelanggaran hukum tindak pidana" di Universitas Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan, saat ini juga banyak di antara PPAT-Notaris yang tersandung kasus hukum terkait dengan surat yang diterbitkan itu.
"Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya persamaan persepsi supaya antara penegak hukum dengan PPAT-Notaris," katanya.
Ia menyebutkan, jika seorang Notaris mendapatkan amplop berwarna cokelat dari petugas kepolisian maka notaris tersebut akan bingung atas kesalahan yang dilakukan.
"Ada notaris yang bingung terkait kesalahan yang dilakukan setelah menerbitkan surat. Karena panggilan itu berlangsung dua tahun kemudian," katanya.
Oleh karena itu, harus adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dengan petugas PPAT-Notaris. Ini bisa memberikan dampak positif bagi petugas PPAT-Notaris terkait dengan masalah hukum.
"Tentunya persamaan persepsi ini harus terus dilakukan mulai dari tingkat atas sampai dengan tingkat bawah dan juga dilakukan secara terus-menerus," katanya.
Sementara itu, Kasubdit II Tipid Harda Bangtah Polda Jawa Timur AKBP Heru Prasetyo mengatakan petugas PPAT-Notaris yang tersandung masalah lebih banyak dikenakan pasal 266 KUHP tentang keterangan palsu atau pemalsuan surat.
"Selain itu, ada juga pasal 55 dan pasal 56 KUHP tentang penyertaan tindak pidana," katanya.
Ia mengatakan, dalam menentukan permasalahan mulai dari penyelidikan sampai dengan penyidikan harus disertai dengan dua alat bukti.
"Sesuai dengan instruksi dari atasan memang harus menyertakan dua alat bukti jika ingin melanjutkan sebuah kasus," katanya.(*)