Lumajang (Antara Jatim) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyebutkan penambangan pasir besi ilegal di Kabupaten Lumajang berpotensi merugikan negara sebesar Rp11,5 triliun.
"Kami menghitung potensi kerugian negara sebesar Rp11,5 triliun karena praktek penambangan pasir besi ilegal diduga berlangsung sejak tahun 2011 hingga 2015 atau selama lima tahun terakhir," kata Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ony Mahardika saat dihubungi dari Lumajang, Kamis.
Menurut dia, nominal tersebut dihitung dari jumlah truk pasir besi yang keluar membawa muatan sebanyak 35 ton setiap truk dengan rata-rata jumlah truk yang beroperasi sebanyak 500 unit per hari.
"Berdasarkan investigasi di lapangan, jumlah truk yang mengangkut pasir besi di Desa Selok Awar-Awar berkisar 270-300 truk per hari, padahal penambangan pasir ilegal di pesisir pantai juga terjadi di Desa Bago, Pandanwangi, dan desa lainnya yang diprediksi jumlah truk yang beroperasi lebih dari 500 unit per hari," tuturnya.
Angka tersebut, lanjut dia, merupakan kalkulasi yang paling rendah dengan asumsi penambangan liar yang dilakukan penambang hanya berupa pasir besi saja, sedangkan pasir untuk bahan bangunan belum dihitung.
"Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tercatat harga pasir besi di Lumajang sebesar Rp36 dolar Amerika Serikat per ton," katanya.
Dengan menggunakan rumus sederhana, lanjut dia, rata-rata sehari terdapat 500 unit truk yang membawa pasir besi dan setiap truk mampu mengangkut sebanyak 35 ton pasir, sehingga dalam hitungan satu tahun terdapat 6.387.500 ton pasir besi yang keluar dari Kabupaten Lumajang.
"Jika dihitung dengan rupiah dan kurs dolar sebesar Rp10.000 maka harga pasir besi 36 dolar AS per ton dalam satu tahun mencapai Rp2,3 triliun. Kalau dihitung selama lima tahun maka kerugian negara mencapai Rp11,5 triliun," paparnya.
Dengan demikian, lanjut dia, kerugian Kabupaten Lumajang dalam lima tahun terakhir mencapai Rp11,5 triliun dan angka tersebut setara dengan jumlah APBD Lumajang selama sembilan tahun dengan estimasi per tahun sebesar Rp1,3 triliun.
"Nilai tersebut cukup besar, sehingga tambang pasir besi ilegal itu tidak mungkin hanya melibatkan kepala desa saja, namun ada perusahaan yang lebih besar dan korporasi yang terlibat dalam kasus terbunuhnya Salim Kancil dan penganiayaan Tosan," katanya.
Ony juga tidak percaya dengan keterangan yang disampaikan tersangka Kepala Desa Hariyono dalam penjelasan sidang disiplin tiga anggota Polri yang diduga terlibat menerima aliran dana tambang pasir besi.
"Tidak mungkin aliran dana hanya berkisar Rp500 hingga Rp1 juta kepada sejumlah oknum penerima dana tambang karena hasil tambang pasir besi cukup besar," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Desa Selok Awar-Awar, Hariyono, mengungkap aliran dana penambangan pasir yang mengalir ke sejumlah pihak yakni Polri, Danramil, Babinsa, Camat, Asper Perhutani, tokoh masyarakat, LSM, dan wartawan.(*)