Surabaya (Antara) - Budayawan Dr Sutejo, MHum mengajak para guru untuk segera keluar dari zona nyaman karena yang dipertaruhkan oleh mereka adalah moralitas serta masa depan anak dan bangsa ini.
"Guru harus mau keluar dari zona nyaman pembelajaran selama ini. Ambil tantangan dan jangan takut dicap macam-macam, misalnya guru 'gendeng' alias 'gila'," kata doktor bidang sastra lulusan Universitas Negeri Surabaya itu ketika dihubungi dari Surabaya, Senin.
Dosen Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Ponorogo itu mengemukakan hal tersebut terkait seminar internasional bertema penanaman karakter lewat bahasa dan sastra yang diselenggarakan di Ponorogo, Minggu (23/8).
Seminar itu menghadirkan kritikus sastra dari Universitas Indonesia Maman S Mahayana, pakar sastra dari Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Korea Selatan Dr Lee Yeon dan pakar dari Prancis Dr Natienne Naviau.
Sutejo yang dikenal sebagai penulis belasan buku itu mengemukakan bahwa salah satu zona nyaman yang dihadapi oleh para guru saat ini adalah di bidang finansial, khususnya setelah mereka mendapat sertifikasi.
"Para guru merasa pekerjaan mereka sama seperti pekerjaan yang lain. Padahal pekerjaan dia itu pekerjaan yang memertaruhkan moral dan kualitas masa depan anak," katanya.
Karena itu, ujar dia, semestinya guru harus sadar bahwa dalam mengajarkan apapun harus mengintegrasikan moral dan komitmen yang kuat di dalam hati.
"Tugas guru itu sangat berat, makanya harus dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesadaran bahwa profesi mereka itu tidak ringan. Kenyataanya selama ini banyak yang hanya menjalani pekerjaan itu sebagaimana pekerjaan yang lain," katanya.
Guru, menurut dia, harus terus menerus menggali kemampuan kreatifnya untuk menjadi sosok yang inspiratif bagi murid-muridnya. Guru yang demikian adalah guru yang memiliki ikatan batin yang tidak hanya terbatas di ruang kelas dan sekolah.
Di dalam tugas guru, melekat tugas untuk menenamkan nilai-nilai, etos kerja, moralitas kerja dan penanaman karakter, khususnya untuk guru sastra.
Sementara di bidang sastra, ia mengutip pernyataan Maman S Mahayana bahwa sastra itu merupakan jembatan kebudayan sehingga dibutuhkan kesadaran guru, keberanian kreatif, wawasan estetik untuk terus belajar.
Menurut Maman, sastra juga merupakan jendela bagi pembuka pengetehuan kebudayaan masyarakat. Guru harus memiliki kemampuan sastrawi, minimal di sisi apresiasi.
"Guru sastra harus mau membaca karya sastra dan menemukan nilai karakter di dalamnya yang akan disuguhkan kepada anak didik," ujarnya.
Problemnya, kata Sutejo, tidak sedikit guru yang tidak memahami bahwa sastra itu merupakan jembatan peradaban dan kebudayaan.
"Guru sastra itu minimal memiliki kemapuan apresiasi terhadap karya sastra. Akan lebih elok lagi, kalau guru sastra punya pengalaman kreatif dalam menulis karya sastra," tukasnya. (*)
Budayawan: Guru Harus Keluar dari Zona Nyaman
Senin, 24 Agustus 2015 15:55 WIB
Para guru merasa pekerjaan mereka sama seperti pekerjaan yang lain. Padahal pekerjaan dia itu pekerjaan yang memertaruhkan moral dan kualitas masa depan anak.