Jakarta (Antara) - Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menilai pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dimasukkan pemerintah dalam Rancangan KUHP, tidak sejalan dengan kemajuan peradaban dan berdemokrasi.
"Pasal itu kan pasal feodal, sejarahnya dulu adalah untuk memproteksi penguasa kolonial dari kritik kaum pribumi," kata Jazuli di Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan pasal itu telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 dengan argumentasi konstitusionalitas yang jelas, serta mempertimbangkan kemajuan kehidupan berdemokrasi.
Dia menegaskan pemerintah harusnya taat pada putusan MK sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, bukan justru memberi contoh melanggar putusan MK yang final dan mengikat.
"Jangan sampai sikap pemerintah ini menjadi preseden buruk atas tejadinya pelanggaran atau pengabaian putusan-putusan MK, sehingga menjatuhkan marwah lembaga demokrasi ini," ujarnya.
Jazuli mengatakan demokrasi yang sudah berkembang baik ini jangan sampai "setback" karena tabiat penguasa yang terlalu sensitif dengan kritik rakyatnya lalu menerapkan pasal karet penghinaan.
Menurut dia, seorang kepala negara dan kepala pemerintahan harus memikirkan persoalan-persoalan besar yang menyangkut kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
"Saya yakin jika bangsa maju dan rakyat sejahtera pasti rakyat akan menghormati dan mencintai pemimpinnya," katanya.
Dia menilai tantangan bagi siapa saja yang menjadi Presiden untuk bekerja dan fokus saja memikirkan agenda besar pembangunan bangsa, apabila kinerjanya baik, negara maju, maka akan dicintai rakyatnya.
Namun dia berharap kepada semua pihak untuk mengedepankan kesantunan dan menghormati kepala negara/daerah dalam menyampaikan kritik dan saran, sehingga demokrasi kita semakin bermakna dan berkarakter bagi kesejahteraan rakyat.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, Presiden Jokowi menyelipkan satu Pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut sebenarnya sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2006.
Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Ketegori IV".
Pasal selanjutnya semakin memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam Pasal 264, yang berbunyi:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV". (*)