PON Remaja Usai, What Next???
Selasa, 16 Desember 2014 13:14 WIB
Perhelatan Pekan Olahraga Nasional Remaja I Tahun 2014 di Jawa Timur resmi ditutup pada Senin (15/12) malam. Berbagai tarian, hiburan, pesta kembang api, dan penampilan spesial grup rock "Slank" ikut memeriahkanäcara penutupan di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, tersebut.
Selama satu pekan, hampir 1.700 atlet remaja dan 800-an ofisial dari 34 provinsi mengadu kemampuan dan kualitas untuk berebut 133 medali emas yang disediakan pada 15 cabang olahraga yang dipertandingkan. Ada yang gembira karena sukses memenuhi target medali emas, tapi tidak sedikit yang kecewa karena tidak mampu memberikan prestasi terbaik buat daerahnya.
Tuan rumah Jawa Timur tampil sebagai juara umum pesta olahraga atlet-atlet usia di bawah 17 tahun itu, setelah mengumpulkan 36 medali emas, 29 perak dan 16 perunggu, disusul kontingen DKI Jakarta berada di urutan kedua dengan mengoleksi 34 medali emas, 22 perak dan 18 perunggu. Kemudian Jawa Barat di peringkat ketiga dengan 13 emas, 9 perak dan 15 perunggu.
Gelar juara umum memang sebuah kebanggaan tersendiri karena menjadi salah satu tujuan dari proses pembinaan olahraga di daerah. Namun, bukan berarti gelar itu serta merta memberikan kepuasan bagi Jatim, karena sebenarnya juara umum adalah tantangan awal untuk meneruskan program pembinaan dan menjadikan atlet-atlet juara PON Remaja sebagai juara sejati di tingkat lebih tinggi.
Bukankan acuan awal dari penyelenggaraan PON Remaja adalah untuk menyiapkan atlet menghadapi "Asian Youth Games" dan "Oympic Youth Games". Dua ajang internasional yang tidak pernah memberikan prestasi bagus buat Indonesia selama beberapa kali penyelenggaraan. Atlet remaja Indonesia selalu kalah bersaing dengan atlet dari negara lain.
Sebagian besar dari 15 cabang olahraga yang dipertandingkan pada PON Remaja I/2014, ditetapkan dengan mengacu pada cabang olahraga yang ada di AYG dan OYG, semisal voli pantai, bulu tangkis, tenis meja, tenis lapangan, bola basket, dan panahan.
KONI Pusat sebagai induk dari seluruh cabang olaharaga, kini memiliki banyak pilihan atlet potensial yang terpantau dari PON Remaja. Mereka seharusnya tinggal terus dibina secara intensif untuk menghadapi dua ajang internasional remaja tersebut. Akan tetapi, inkonsistensi sering menjadi masalah klasik dalam pembinaan olahraga kita, selain juga persoalan anggaran yang selalu menjadi kendala utama.
Tidak ada prestasi yang bisa dicapai secara instan melalui pelatnas dadakan. Bulu tangkis sebagai salah satu cabang olahraga yang memiliki pelatnas sepanjang tahun, menjadi bukti bahwa prestasi harus dicapai melalui kerja keras dan program berjenjang. Meski demikian, masih banyak kalangan masyarakat yang menganggap prestasi bulu tangkis kita menurun.
Bicara prestasi olahraga, Indonesia kini sudah sangat kesulitan untuk kembali dominan di tingkat Asia Tenggara (SEA Games). Jangan ngomong juara umum, untuk sekadar menjadi "runner up" saja beratnya bukan main. Dulu pesaing kita mungkin cuma Thailand dan Malaysia, tetapi beberapa tahun terakhir negara seperti Vietnam sudah memberi tekanan kepada Indonesia.
Idealnya, dibutuhkan waktu minimal dua tahun untuk menyiapkan atlet secara berkelanjutan melalui program pemusatan latihan terintegrasi, apalah nama programnya tidak terlalu penting. Pembinaan olahraga juga tidak bisa sekadar mengandalkan KONI atau Kementerian Pemuda dan Olahraga, tetapi juga perlu melibatkan lintas instansi, semisal, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Integrasi pembinaan olahraga diperlukan karena menyangkut masa depan seorang atlet. Menjadi seorang atlet adalah sebuah pilihan yang tidak mudah, apalagi ketika dihadapkan pada beberapa pengalaman masa lalu, di mana banyak mantan atlet yang hidupnya tidak menentu setelah "pensiun". Dipuja ketika jaya, tetapi dilupakan saat prestasi sudah menurun.
Dari ribuan atlet yang baru saja berlaga pada PON Remaja 2014 di Jatim, dipastikan tidak akan banyak yang kemudian berkibar membawa nama baik Indonesia di pentas internasional, jika pembinaan terhadap mereka hanya setengah hati. Apalagi bagi atlet yang daerahnya kurang begitu "care" dengan olahraga.
Padahal, melalui prestasi olahraga, sang atlet bisa mengangkat harkat dan martabat daerahnya, bahkan negara di mata internasional. Olahraga juga mampu menumbuhkan kebanggaan dan rasa patriotisme rakyat, sekaligus alat pemersatu di tengah terjadinya krisis moral dan berbagai kasus korupsi. (*)