Menengok Kejayaan Migas di TMII
Jumat, 5 Desember 2014 10:38 WIB
Jakarta (Antara Jatim) - Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi baik premium dan solar resmi dinaikkan pemerintah pada pertengahan November 2014 dengan sejumlah alasan, di antaranya demi menyehatkan struktur anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) pada masa mendatang, karena subsidi BBM yang kian membengkak setiap tahun.
Namun, tidak banyak masyarakat yang mengetahui secara detail mengapa harga BBM semakin mahal dan memberikan dampak berkelanjutan bagi rakyat. Memang, jika dilihat dari pasokan komoditas itu dari tahun ke tahun semakin minim karena BBM terkategori sebagai energi yang sulit diperbarui. Apalagi bahan baku utamanya adalah fosil.
Sementara, pertumbuhan penduduk di Indonesia makin meningkat signifikan dan tahun ini sudah menembus angka 247 juta jiwa. Di sisi lain, dari jumlah tersebut tentunya masyarakat membutuhkan BBM sebagai bahan bakar utama kendaraan bermotor mereka.
Seperti halnya mobil, di Jakarta saja angka penjualan mobil mendominasi 30 persen penjualan nasional yang mencapai hingga 12 juta unit dalam satu tahun.
Bagi mereka yang memahami akan pentingnya BBM terhadap generasi mendatang, bisa dipastikan memiliki kesadaran sangat tinggi dan mulai menghemat konsumsinya terhadap komoditas tersebut.
Akan tetapi mereka yang tidak sadar, sudah tentu selalu menggunakan BBM sebagai bahan bakar utama kendaraannya, termasuk pengguna mobil yang notabene tergolong kalangan menengah atas atau bukan sasaran BBM subsidi.
Untuk memiliki pemahaman lebih lanjut mengenai industri minyak dan gas (migas) bumi di Tanah Air, tidak ada salahnya ketika berada di Jakarta masyarakat mengajak seluruh keluarganya guna mengunjungi Musem Graha Widya Patra.
Cukup dengan membayar tiket masuk Rp2.000 per orang maka pengunjung bisa menjejakkan kaki di museum yang sering disebut Museum Migas.
Tarif tiket itu bisa dikatakan sangat murah untuk mendapatkan wawasan dan pengetahuan tentang pembentukan minyak dan gas bumi, sumber mineral lainnya yang terkandung di Indonesia, hingga menengok kejayaan migas nasional. Khususnya jika dibandingkan besarnya biaya untuk duduk di bangku perkuliahan di jurusan Teknik Perminyakan dan mendalami potensi migas di penjuru Nusantara.
Meski begitu, seolah hidup segan mati tak mau maka penyataan tersebut laik disematkan terhadap museum yang terletak di Jalan Raya Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.
Penyebabnya, kini kondisi museum yang dibuka sejak pukul 08.30 – pukul 16.00 WIB tersebut memang bisa dikatakan "hidup" alias masih menunjukkan eksistensinya hingga sekarang. Apalagi didukung kelengkapan koleksi barang di lokasi itu yang mencapai 5.000-an.
Di sisi lain, dengan total karyawan sebanyak 40 orang di mana masing-masing memiliki tugas penting, museum yang berada di area seluas 11.000 meter persegi itu laksana kurang sentuhan. Khususnya dari sis i perawatan sejumlah koleksi atau dengan kata lain bisa dikatakan "mati" meskipun mempunyai sedikit harapan menarik perhatian pengunjung.
Seperti kunjungan, salah seorang siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Jakarta, M Ma'rup. Saat berada di Museum Migas tersebut pihaknya bersama puluhan teman yang ikut mengunjungi lokasi itu sangat takjub dengan kekayaan dan kejayaan migas nasional dari masa ke masa. Salah satunya eksplorasi migas pada masa prakemerdekaan.
Pohon Minyak
Pembangunan Museum Migas menandai peringatan 100 tahun industri minyak dan gas bumi Indonesia. Hal itu merupakan sumbangan masyarakat perminyakan Indonesia demi melestarikan dan mewariskan nilai-nilai juang kepada generasi penerus untuk peningkatan ilmu dan teknologi.
Di museum yang lokasinya berdekatan dengan Taman Burung dan Museum Listrik dan Energi Baru itu, pengunjung juga bisa melihat bagaimana awal kegiatan perminyakan yang dimulai sejak tahun 1883 dan 1885.
Ketika itu seorang warga asing bernama Aeilko Zijlker datang ke Indonesia dan membentuk De Voorloopige Soematra Petroleum Maatschappj (semacam badan usaha migas). Melalui usahanya tersebut Zijlker berhasil memproduksi minyak bumi secara komersial di Telaga Said, Sumatera Utara.
Kalau dilihat secara seksama, tampak dari luar gedung utama berbentuk anjungan lepas pantai dengan dua bangunan pendukung berbentuk gilig menyerupai tangki minyak yang disebut Anjungan Eksplorasi dan Anjungan Pengolahan. Kemudian ruang pamer terdapat di gedung utama dan di anjungan eksplorasi.
Untuk pameran di gedung utama disediakan guna mengetengahkan bagaimana terbentuknya sejarah industri perminyakan di Tanah Air. Di ruang ini terdapat Teater Minyak yang memutar film pendek dan multislide mengenai asal-mula serta hasil pengolahan minyak dan gas bumi di Indonesia. Selain itu terdapat ruang untuk pameran berbagai benda dan bahan mengenai minyak dan gas bumi yang ada di sekitar masyarakat.
Di Anjungan Eksplorasi, terdapat berbagai informasi tentang kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, termasuk peragaan sejarah terjadinya cekungan minyak dan gas bumi serta penerapan teknologi pada masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Di luar gedung dipamerkan peralatan pengeboran minyak dan peragaan benda-benda eksplorasi berupa menara bor tahun 1930-an, berbagai pompa angguk, sebuah truk logging tua, pompa bensin engkol, dan sebuah kilang minyak tua.
"Dengan beragam koleksi yang mencapai 5.000 an unit, kami yakin museum ini sangat tepat dijadikan sebagai tempat rekreasi dan menimba ilmu. Baik siswa taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, mahasiswa, maupun karyawan perusahaan migas seperti Pertamina," kata Staf Bagian Peraga Museum Migas, Budi Setiawan.
Museum itu juga dilengkapi koleksi seperti alat-alat berat, pompa bensin yang dioperasikan secara manual dan dibuat tahun 1930. Ada pula Sumur Cinta-1 yang berasal dari sumur produksi lepas pantai pertama di Indonesia dan didukung oleh pompa angguk Canadish serta Kepala Sumur Cinta-1 yang ditempatkan di sebuah danau buatan.
Melalui Kepala Sumur Cinta-1 itu diyakini masyarakat semakin memahami bahwa awalnya pompa itu berada di lepas pantai dan kini ditaruh di Museum Migas.
Ada pula Diorama Peradaban Manusia yang didesain menyerupai manusia pada zaman itu dengan segala keragaman gaya hidup mereka. Akibat ketidaktahuan masyarakat pada masa prasejarah maka minyak bumi yang berupa minyak tanah itu dioleskan ke tubuhnya. Komoditas tersebut, mereka percaya memiliki khasiat mengantisipasi pegal-pegal maupun masuk angin. Replika manusia itu berada di Gedung Utama lantai 1 atau tepatnya di sebelah kiri Teater Minyak.
"Di lokasi ini pengunjung juga bisa menyaksikan sekaligus mengabadikan momentum dengan Pohon Minyak. Mereka dapat pula berfoto dengan Tong Minyak dari kayu yang menunjukkan bahwa satu barel sama dengan 159 liter," tuturnya.
Pria asli Jember yang pernah menimba ilmu perminyakan di salah satu universitas ternama di Indonesia mengatakan, melalui Pohon Minyak yang ditata laiknya senyawa kimia dengan permainan warna menarik baik kuning maupun merah tersebut mereka bisa mempelajari apa saja yang menjadi turunan dari minyak dan gas bumi. Bahkan sengaja disusun dalam bentuk sebatang pohon sehingga memudahkan pengunjung yang ingin menghafal berbagai produk itu.
Penempatan produk pada pohon diatur dari atas ke bawah sesuai dengan hasil- fraksi-fraksi minyak bumi yang di dapat pada proses distilasi dan prosen-proses selanjutnya. Apalagi memang jarang ada yang kenal apa saja produk keseharian itu misalnya deterjen, lilin, pengencer cat, plastik, karpet, karet buatan, insektisida, pelumas, kerosene, kosmetika, dan obat-obatan.
Terbebani Biaya Listrik
Meski dilihat volume pengunjung Museum Migas sangat banyak atau mencapai 3.000 orang per bulan, penjualan tiket masuk belum mampu menunjang biaya operasional. Salah satunya, tingginya beban biaya listrik yang harus ditanggung senilai Rp35 juta per bulan.
Besaran untuk membiayai listrik hampir 50 persen mendominasi biaya operasional setiap bulan. Hal itu dikarenakan mayoritas koleksi dan alat peraga di museum yang kini dikelola oleh Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu menggunakan listrik.
Untuk menutup biaya operasional per bulan, manajemen museum sengaja mengambilnya dari penjualan tiket dan pendapatan lain. Saat ini, pihaknya tetap mengerahkan segala upaya atau minimal bertahan dari pendapatan yang ada. Langkah tersebut dilakoni mereka sembari menunggu uluran tangan pemerintah walaupun ada dana cadangan.
Secara umum, gagasan pendirian Museum Migas lahir ketika pembukaan upacara Konvensi Tahunan "Indonesia Petroleum Association" ke-14 pada tanggal 8 Oktober 1985. Pembangunan fisik museum dengan lima gedung tersebut dilakukan pada tahun 1987.
Kemudian, melalui usaha dan sumbangan masyarakat perminyakan Indonesia dan semangat melestarikan dan mewariskan nilai-nilai juang kepada generasi penerus maka museum ini resmi dibuka pada tanggal 20 April 1989 oleh Presiden Soeharto.
Budi berharap, Museum Minyak dan Gas Bumi yang dibangun untuk menandai peringatan 100 tahun industri minyak dan gas bumi Indonesia itu bisa semakin dikenal oleh masyarakat luas. Khususnya untuk siswa-siswi sekolah mengingat di tangan mereka pengembangan industri migas berada.
Apabila mereka acuh terhadap besarnya permintaan migas yang tidak diimbangi dengan energi terbarukan maka generasi mendatang tidak akan mengenal seperti apa wujud migas. Selain itu mereka juga tidak akan memahami betapa pentingnya peranan migas bagi kehidupannya dan masa selanjutnya.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan Usaha Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Puguh Iryantoro mengemukakan, bangga dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi di bawah Rp3.000 per liter, baik untuk solar maupun premium. Penyebabnya, kebijakan pemerintah yang baru dikawal satu bulan lebih oleh Joko Widodo memiliki pertimbangan realistis terhadap penaikan BBM.
Padahal, di sisi lain ada sejumlah pengamat ekonomi yang bertentangan dengan penaikan itu karena saat ini kondisi perekonomian nasional stabil dan harga minyak dunia di bawah 100 dolar AS per barel. Namun, dengan penaikan harga BBM subsidi saat ini diharapkan dana yang selama ini dialokasikan untuk subsidi BBM bisa secepatnya dialihkan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Misalnya, saran dia, melakukan percepatan pembangunan infrastruktur sehingga bisa menekan mahalnya biaya logistik di dalam negeri. Di samping itu, besaran dana subsidi BBM juga dapat dioptimalkan untuk merevitalisasi Museum Migas dan menambah alat peraganya sehingga performa fisiknya serta kelengkapan koleksi di sana lebih menarik banyak pengunjung.(*)