Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009 telah meresmikan Jembatan yang menghubungkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Madura. Jembatan sepanjang 5.438 meter yang diberi nama Jembatan Suramadu ini diharapkan akan menjadi penopang kemajuan, khususnya di bidang ekonomi bagi warga Madura. Konsep pembangan infrastruktur pendukung pun dirancang. Pola pembangunan terintegrasi antarempat kabupaten di Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Kabupaten Sumenep tidak luput dari perhatian pemerintah. Bangkalan akan menjadi khawasan khusus, Sampang dan Pamekasan akan dikembangkan sebagai kota industri, sedangkan Kabupaten Sumenep ditekankan pada pengembangan ekonomi pariwisata. Untuk mendukung program pembangunan terintegrasi, serta mempercepat pembangunan di Pulau Madura pascaoperasional Jembatan Suramadu ini, pemerintah membentuk badan khusus, yakni Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS), melalui Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008. Dalam perkembangannya, keberadaan badan khusus ini memang tidak berjalan mulus. Tidak sedikit warga Madura, termasuk sebagian legislatif di Pulau Garam Madura itu yang menentang keberadaan BPWS. Selain karena pejabat yang ditunjuk menjalankan tugas pada badan khusus itu dinilai tidak representatif, karena bukan orang Madura asli, landasan hukum pembentukan badan khusus itu juga dinilai lemah, bahkan menyalahi semangat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004. Selain itu, menurut Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tidak dibenarkan BPWS mendapat anggaran langsung dari APBN karena BPWS bukan pengguna anggaran seperti kementerian atau lembaga-lembaga pemerintah lain yang keberadaannya diatur dalam undang-undang. Ada hal lain yang juga bertentangan dengan bidang tugas dan kewenangan yang menjadi wewenang daerah otonom, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Misalnya kewenangan BPWS dalam melayani dan melaksanakan perizinan serta kewenangan bPWS untuk menyusun tata ruang. Sebab, perizinan dan tata ruang sudah menjadi bagian dari kewenangan daerah otonom baik provinsi, kabupaten/kota sebagai mana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Kewenangan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun, terlepas dari pro dan kontra terkait BPWS, dalam praktiknya, badan khusus yang ditugaskan untuk mempercepat proses pembangunan di Pulau Madura itu, memang tidak bisa bergerak cepat. Pembebasan lahan di sekitar Jembatan Suramadu yang menjadi prasyarat utama untuk mengembangkan industrialisasi di Madura, hingga saat ini belum juga terlaksana. Akibatnya, kendatipun Jembatan Suramadu telah selesai dibangun dan dioperasikan sejak 5 tahun lalu, akan tetapi geliat kemajuan ekonomi di sekitar Suramadu dan warga Pulau Madura pada umumnya hingga kini belum terlihat adanya kemajuan yang berarti. Padahal, pembangunan Jembatan Suramadu ini diharapkan bisa menjadi jembatan peningkatan perekonomian warga Madura. Dari sisi pendapatan jasa transportasi, keberadaan jembatan memang menguat. Pada tahun 2010, setahun setelah dioperasikan, pendapatan Jembatan Suramadu sudah Rp108 miliar. Namun demikian, besaran pendapatan dari jasa penyeberangan ini, tidak berbanding lurus dengan pendapatan warga Madura. Anggota DPR RI asal Madura MH Said Abdullah berpendapat, konsep yang diterapkan pemerintah dengan membentuk BPWS sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam mengembangan dan mempercepat pembangunan di Pulau Madura memang kurang tepat. Apalagi tidak melihatkan secara langsung, warga Madura yang memang mengetahui dan memahami karakter warga Madura. "Saya justru lebih setuju dengan khawasan ekonomi khusus (KEK), yang pengelolaannya diberikan secera langsung kepada empat bupati yang ada di Madura itu, bukan melalui BPWS," kata Said. Pada pola penerapan KEK, prinsip yang diterapkan adalah mengedepankan pemberdayaan dan pembinaan, serta penguatan keterampilan yang berbasis usaha mikro. Pasar modern dalam sistem ini akan diatur sedemikian rupa untuk membantu memajukan ekonomi rakyat. Yang terjadi saat ini sebaliknya, pasar modern dibiarkan tumbuh subur hingga ke pelosok desa, sedangkan potensi ekonomi mikro di perdesaan kurang diperhatikan, sehingga tidak sedikit yang terpaksa gulung tikar. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengaku, banyak menerima keluhan pelaku usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) terkait persoalan masuknya swalayan modern ke desa-desa dan kampung-kampung dan keberadaan Jembatan Suramadu yang tidak "membangun" perekonomian Madura. "Aturan kita soal swalayan modern sebenarnya sudah cukup ketat, termasuk jarak, jam buka, dan keharusan memanfaatkan produk lokal, tapi kita terkendala dengan otonomi daerah, karena itu nanti akan saya diskusikan lagi dengan bupati dan wali kota se-Indonesia," katanya dalam sebuah seminar bertajuk "Dialog Ekonomi Kerakyatan Nasional Menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN" di Surabaya, beberapa hari lalu. Daerah, kata dia, mungkin membutuhkan investasi, tapi para pemimpin daerah juga harus melindungi masyarakatnya. Kita mungkin tak bisa menolak investasi yang masuk, tapi semuanya bisa diatur untuk melindungi masyarakat," katanya. Menurut Hatta, kawasan Madura seharusnya tumbuh sebagai kawasan ekonomi atau klaster industri, namun hal itu sulit terwujud akibat kendala dalam pembebasan lahan yang alot. "Kita sudah merumuskan UU Pembebasan Lahan Demi Kepentingan Umum, tapi saya kira tidak cukup, karena di Madura perlu pendekatan sosio-kultural, namun planning kita untuk Madura itu tetap, misalnya di Socah, Bangkalan, akan dibangun pelabuhan besar," katanya. Senada dengan itu, mantan Bupati Pamekasan Dr KH Kholilurrahman menyatakan yang diperlukan masyarakat Madura saat ini adalah kemajuan ekonomi yang substantif, bukan kemajuan ekonomi semu yang ditandai dengan maraknya pasar modern. "Kemajuan ekonomi warga yang sebenarnya belum kita lihat dan pemerintah baik di empat kabupaten di Madura, provinsi, maupun pemerintah pusat, perlu memperhatikan hal ini. Maraknya pasar modern tidak menjadi tolok ukur kemajuan ekonomi, tapi justru bisa sebaliknya, karena akan banyak kelompok usaha kecil yang gulung tikar," kata Kholilurrahman. Walhasil, Jembatan Suramadu agaknya tidak menjadi pendorong "kebangkitan" perekonomian masyarakat Madura, sehingga realitas itu patut menjadi kajian semua kalangan, khususnya dalam merayakan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas)... (*)
"Kebangkitan" Ekonomi Madura Pascasuramadu
Minggu, 11 Mei 2014 14:08 WIB