Hikmahanto: Kebijakan Century bukan Berarti Korupsi
Kamis, 17 April 2014 18:23 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Sekretaris Majelis Kehormatan (MKH) Mahkamah Konstitusi Prof Hikmahanto Juwana SH LLM PhD menilai pejabat publik yang melakukan kebijakan yang salah seperti dalam kasus "bailout" Bank Century bukan berarti dia melakukan korupsi.
"Sekarang saatnya kita mulai menegakkan hukum secara benar, kebijakan yang salah adalah masalah tersendiri dan pidana korupsi adalah masalah lain," kata Guru Besar Hukum Internasional UI itu dalam seminar di Universitas Surabaya (Ubaya), Kamis.
Dalam seminar "Tanggung Jawab Hukum Pengambil Kebijakan" di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) yang menampilkan lima pakar hukum dari UI, Ubaya, dan Universitas Andalas itu, ia menjelaskan bila kebijakan dikaitkan dengan pidana, maka orang akan enggan menjadi pejabat publik.
"Akhirnya, lembaga-lembaga publik seperti birokrasi pun akan sulit bersaing hingga ke tingkat global dan dampaknya masyarakat kita juga sulit untuk sejahtera," kata alumni Fakultas Hukum UI Jakarta (1987) itu.
Pernyataan alumni Keio University, Jepang (S-2) itu merujuk kasus korupsi sepanjang 2004-2013 terkait 176 izin yang dikeluarkan dengan 131 izin di antaranya terkait kasus korupsi. Selain itu, 1.187 anggota DPRD juga telah diperiksa karena diduga korupsi.
Menurut Hikmahanto yang juga alumni University of Nottingham, Inggris (S-3) itu, kebijakan dari pejabat publik itu tidak ada kaitan dengan korupsi, kecuali bila ada unsur koruptif di dalamnya.
"Unsur koruptif itu sesuai dengan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Korupsi adalah memperkaya diri sendiri, orang lain, korporasi, dan menyalahgunakan wewenang. Jadi, kalau kebijakan itu salah tapi tidak ada unsur-unsur itu tidak bisa dijerat dengan korupsi," katanya.
Tanpa bermaksud membela mereka yang terlibat dalam kasus Century, putra diplomat yang juga mengajar pada sejumlah universitas, termasuk Ubaya itu, menegaskan bahwa perilaku koruptif dalam kasus Century itu tidak ada (tidak ditemukan), karena kebijakan itu dikeluarkan terkait situasi hati-hati pasca-krisis moneter.
"Kalau pun mau diseret ke korupsi, maka perilaku koruptif itu tidak ada hubungannya dengan kebijakan yang menyertai, melainkan penyidik bisa melacak pada unsur-unsur dalam proses CAR (kecukupan modal), apakah sengaja diturunkan untuk mendapat duit dan uangnya dibagi-bagi atau dicukupkan untuk kepentingan bailout itu," katanya.
Contoh lain adalah kasus LPG 12 kilogram yang dinilai BPK merugikan negara Rp7 triliun, lalu untuk menghindari kerugian negara agar tidak dianggap korupsi, maka LPG 12 kilogram dinaikkan, sehingga industri beralih ke LPG 3 kilogram, sehingga terjadi kelangkaan dan akhirnya Presiden minta Pertamina melobi BPK.
Oleh karena itu, katanya, pemahaman bahwa kebijakan yang salah itu belum tentu terkait dengan korupsi bila tidak ada unsur koruptif itu perlu disosialisasikan kepada aparat penegak hukum (jaksa, hakim, polisi) dan masyarakat.
"Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menyatakan bila hakim mengambil keputusan maka dia akan mendapat dua pahala bila keputusannya benar dan dia akan mendapatkan satu pahala bila keputusannya salah. Jadi, kebijakan yang salah dan benar itu sebuah keniscayaan dan akan sama-sama mendapat pahala, meski beda," katanya.
Senada dengan itu, pakar hukum ekonomi Prof Dr Bismar Nasution SH MH menyatakan kebijakan bisnis pada kalangan swasta bisa juga menghasilkan kerugian dan hal itu "tidak dihukum" asalkan kebijakan yang ditempuh dinilai rasional, sesuai kepentingan perusahaan, dan dengan iktikad baik.
"Saya kira, kebijakan publik juga begitu, karena itu kebijakan yang salah seharusnya disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan, tapi kalau kesalahan (kerugian bisnis) itu bisa dipahami secara administrasi, maka tidak perlu dipidana," katanya.
Dalam konteks itu, ia mencontohkan adanya Dewan Etik pada dunia kedokteran, sehingga bila ada kesalahan kebijakan yang dilakukan seorang dokter, maka kebijakan yang salah itu "diadili" ole Dewan Etik dan bukan dipidanakan, kecuali Dewan Etik menemukan unsur pidana di dalamnya. (*)