Setidaknya ada dua momentum kegiatan sekolah yang cukup merepotkan semua pihak. Bahkan seringkali membuat heboh, yakni penerimaan siswa baru dan ujian nasional (UN). Meskipun mendapatkan kritik tajam, bahkan hingga berlanjut ke pengadilan, namun pemerintah bergeming. UN yang bisa juga disingkat Unas, terus berjalan. Gugatan itu sempat masuk ke ranah Mahkamah Agung yang memutuskan agar UN tidak dilaksanakan sebelum pemerintah memperbaiki kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melakukan UN. Kecurangan demi kecurangan terus berlanjut dalam setiap "ritual" ujian akhir dengan soal sama secara nasional itu. Kecurangan tidak hanya melibatkan para siswa peserta UN, namun juga hampir semua pemangku kepentingan, mulai dari guru, pejabat dan barangkali juga orang tua. Kecurangan itu bisa berbentuk bocoran jawaban yang beredar lewat pesan singkat atau SMS (Pemerintah sendiri berharap jawaban soal UN yang bocor itu ada bukti materiil-nya). Bisa juga kecurangan itu lewat perilaku guru di sekolah atau saling mencontoh antarsiswa peserta UN. Bahkan tidak jarang, sebelum UN digelar, siswa melakukan ritual supranatural, seperti membawa pensil ke "orang pintar". Tujuannya agar anak dimudahkan mengerjakan soal. UN betul-betul membuat tegang semua pihak. Orang tua dan siswa takut tidak lulus, guru dan kepala sekolah takut akan nama baik dan kredibilitas sekolah, pejabat politik di daerah juga tak kalah takutnya. Karena hasil UN kemudian dijadikan salah indikator keberhasilan si pejabat dalam memimpin daerah. (Dalam konteks ini sempat muncul wacana perlunya guru ditarik menjadi milik pemerintah pusat dalam berbagai pengaturan, sehingga tidak politis lagi). Sejumlah guru mengaku bahwa dirinya berada dalam situasi dilematis ketika terlibat dalam berbagai kecurangan pelaksanaan UN. Satu sisi betul-betul tidak nyaman mengajarkan siswa-siswa tersayangnya untuk berbuat curang. Di sisi lain, mereka kasihan melihat siswanya tidak lulus UN. "Apalagi, kami juga tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada siswa yang tidak lulus itu jika misalnya harus mengulang satu tahun. Lhawong yang lulus saja kita tidak bisa menjamin apa-apa. Apalagi cuma lulus SMA. Sarjana saja tidak bisa menjamin apa-apa setelah lulus. Lalu, rasanya berat kalau kita tidak membantu siswa itu lulus," ucap seorang guru. Sejatinya "keukeuhnya" pemerintah terus menggelar UN bukan tanpa perubahan. Dari tahun ke tahun, aksi kecurangan sistematis itu selalu dicarikan jalan keluarnya agar tidak terulang. Awalnya UN dengan soal sama seluruh siswa, sehingga memudahkan terjadinya kecurangan, baik lewat SMS maupun kerja sama antarsiswa di kelas. Berikutnya, soal dibuat dengan dua paket A dan B. Satu bangku siswa soalnya tidak sama. Tapi hal ini tidak lantas menghilangkan kecurangan. Berikutnya dibuat dengan lima paket soal. Ini juga masih dengan mudah ada kecurangan. Tahun 2013 dibuat dengan 20 paket soal. Jadi satu kelas tidak ada soal yang sama. Ini menyulitkan siswa atau pihak lain untuk curang. Tapi paket ini bukan tanpa kelemahan. Titik lemahnya, karena soal hanya diacak nomor urutnya, dengan subtansi yang sama, sehingga masih memungkinkan adanya kerja sama, meskipun lebih membutuhkan waktu lama. (Dalam konteks ini, pihak Kemendikbud menyatakan puluhan paket itu berbeda semuanya, kecuali lima soal yang sama untuk "penghubung" antar-tipe soal). Tahun 2014 ini soal dibuat 60 paket. Kalau satu kelas ada 20 siswa, maka dalam tiga kelas siswa mendapatkan soal berbeda-beda. Dengan cara seperti ini diharapkan kecurangan bisa betul-betul dihilangkan. Apalagi elemen perguruan tinggi juga dilibatkan sebagai tenaga pengawas. Hanya saja, dengan semakin sulitnya kecurangan, kriteria kelulusan UN itu hakikatnya semakin dikurangi. Kalau sebelumnya kelulusan itu ditentukan oleh hasil UN murni, kini ada kombinasi dengan nilai dari sekolah, sebagai bentuk penghormatan pada guru. Sebelumnya, dengan kombinasi nilai UN 60 persen dan 40 persen nilai sekolah. Tahun 2014 ini, nilai sekolah ditinggikan menjadi 70 persen. Nilai UN hanya 30 persen. "Kriteria kelulusan siswa masih sama dengan UN tahun 2013, yakni formula gabungan antara nilai UN dan nilai sekolah. Bedanya tahun ini nilai rapor dihargai 70 persen pada penentuan nilai sekolah karena berdasarkan masukan tahun lalu bahwa gurulah yang tahu kemampuan siswanya," ujar Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Prof Djemari Mardapi saat menyosialisasikan pelaksanaan UN tahun 2014 di Denpasar. Dengan komposisi seperti ini, maka peluang bermain, kalau tidak boleh disebut "curang" masih ada untuk bisa meloloskan siswa kelas III tersebut, yakni guru berlomba-lomba memberikan nilai tinggi kepada siswa, sehingga berapapun nilai UN (minimal setiap mata pelajaran 4,0) siswa pasti lulus. (Dalam konteks ini, sejumlah universitas terpaksa membandingkan nilai UN dengan nilai sekolah, sehingga akan mudah diketahui apakah ada penggelembungan atau tidak pada sekolah tertentu). Karena itu, untuk pelaksanaan UN di tahun-tahun berikutnya, pemerintah harus mencari jalan keluar agar "kecurangan" dalam bentuk lain bisa dihilangkan. Atau, tidak ada salahnya juga kalau pemerintah mendengarkan masukan dari mereka-mereka yang selama ini kontra atau menolak UN. Demi kualitas pendidikan kita yang tidak hanya menjunjung nilai dalam angka-angka yang boleh jadi kehilangan substansi untuk membentuk karakter siswa yang jujur, tangguh dan siap menyongsong masa depan. Atau, jalan keluar lain yang mungkin muncul seiring dengan perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 2013, karena perubahan UN juga akan terjadi dengan perubahan kurikulum yang mementingkan tiga kompetensi yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan, itu, namun perubahan itu akan terjadi ketika seluruh jenjang siswa sudah menerapkan kurikulum baru itu pada tahun 2016. Secara implisit, Kemendikbud menyebut UN akan digantikan dengan ujian tingkat kompetensi pada tahun 2016. Kita tunggu... (*)
"Ritual" Tahunan UN
Senin, 14 April 2014 15:56 WIB