Pamekasan (Antara Jatim) - Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Seperti itulah kira-kira gambaran kejujuran masyarakat menghadapi Pemilu Legislatif 2014 saat ini. Kejujuran ibadah berlian di puncak menara gading yang hanya bisa dilihat oleh semua orang, akan tetapi sulit untuk didapat dan dipraktikkan. Kondisi inilah yang setidaknya dirasakan hampir semua orang di negeri ini, termasuk para penyelenggaran pemilu di berbagai tingkatan di negeri ini. Baik penyelenggara pemilu di tingkat pusat, provinsi, maupun di tingkat kabupaten, kecamatan hingga di tingkat desa. Kelompok masyarakat yang paling merasakan untuk saat ini yang mendekati pelaksanaan pemilu adalah para calon legislatif. Sebab dukungan politik oleh masyarakat kepada calon wakilnya cenderung berorientasi pragmatis, yakni "ada uang mereka memilih, dan jika tidak ada uang mereka akan mengabaikan." Paradigma pemikiran yang terbangun di sebagian kelompok masyarakat ini adalah politik itu uang. Demikian juga jabatan politik yang disandang seseorang, semisal wakil rakyat dalam pandangan mereka kekayaan. Tidak hanya itu saja, yang lebih parah lagi, masyarakat pemilih cenderung memanfaatkan persaingan antarcaleg dalam memperebutkan dukungan masyarakat pada pemilu yang sebentar lagi akan digelar. Sehingga siapapun yang datang kepada mereka memberikan uang akan tetap diterima, tanpa mempedulikan kepada siapa sebenarnya mereka mendukung. "Kapan lagi kita akan mendapatkan uang dari cari para politisi ini, kalau tidak menjelang pelaksanaan pemilu seperti sekarang ini," ucap salah seorang warga di Desa Kadur, Kecamatan Kadur, Pamekasan, sebut saja "Fulan". Si Fulan dan ribuan masyarakat lain di desa ini, relatif memiliki pandangan sama terkait politik uang atau yang dalam bahasa lain sering disebut "pragmatisme politik". Pandangan mereka sangat sederhana, yakni mendukung seseorang untuk menjadi wakil rakyat ibarat "mendorong mobil mogok". "Ya, bagaimana kalau mendorong mobil mogok, saat mogok, kami yang mendorong, tapi setelah mesin hidup, orang-orang yang mendorong diabaikan, lalu ditinggal pergi begitu saja, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun," tuturnya. Pernyataan Si Fulan ini, tentu bukan torehan di atas kertas kosong, atau bualan tanpa fakta, akan tetapi lebih pada pengalaman yang terjadi selama ini. Meski tidak semuanya benar, akan tetapi hal yang demikian itu tentu memang ada, sehingga menyebabkan reaksi yang kurang baik dalam dunia demokrasi di negeri ini. Reaksi Dosen Ilmu Politik Universitas Madura (Unira) Pamekasan Drs Abubakar Basyarahil menilai, adanya kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat pemilih dari idealis ke pragmatis seperti fenomena yang terjadi selama ini, karena reaksi atas kenyataan yang terjadi di lapangan. Kasus korupsi yang menjerat sejumlah anggota wakil rakyat selama ini, baik di tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten akhirnya mengubah pola pikir masyarakat bahwa jabatan wakil rakyat adalah jabatan yang sengaja diperebutkan untuk meraih kekayaan. "Inilah yang kami kira menjadi pemicu kecenderungan pola pikir di kalangan masyarakat, sehingga pemilu lalu dianggap sebagai ajang untuk meraih keuntungan dari orang-orang yang mencalonkan diri sebagai wakil mereka," ujar dia. Meskipun tidak semua wakil rakyat melakukan hal yang sama, akan tetapi anggapan yang tertanam di kalangan masyarakat umum dengan banyaknya kejadian korupsi dan bentuk perbuatan melanggar hukum lainnya yang menjerat wakil rakyat telah menimbulkan anggaran yang negatif di kalangan masyarakat pemilih. Sehingga, rakyat juga seolah-olah mendapatkan legitimasi, apabila melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, semisal mengharapkan politik uang dari bakal calon wakil mereka, dan memperdaya para calonnya dengan berbagai cara. Sebagian anggota DPRD di Kabupaten Pamekasan, Madura mengakui adanya kecenderungan prakmatisme politik masyarakat pemilih, khususnya pada pemilu legislatif 2014 ini. Seperti yang disampaikan anggota DPRD dari Partai Bulan Bintang (PBB) Suli Faris. Anggota DPRD yang mencalonkan kembali sebagai waki rakyat pada pemilu legislatif yang akan digelar 9 April 2014 ini mengakui bahwa kecenderungan prakmatis masyarakat pemilih kian meningkat. Selain karena faktor moralitas oknum anggota DPR, yang juga menjadi pemicu meningkatkan kecenderungan pragmatisme warga, karena berbagai jenis pemilihan yang selama ini terjadi, juga karena sudah terbiasa menggunakan politik uang. Baik pada pemilihan kepala desa, ketua RT/RW ataupun pada pemilihan bupati dan wakil bupati sekalipun. "Di daerah saya itu di wilayah utara Pamekasan, harga dukungan suara bisa mencapai Rp500 ribu per orang untuk pilkades, bahkan ada yang mencapai Rp700 ribu per satu suara dan ini nyata, bukan hanya isapan jempol belaka," tutur Suli Faris. Praktik politik uang yang sudah terbiasa dalam setiap pemilihan itulah yang menurut Suli Faris yang pada akhirnya bisa menciderai makna demokrasi itu sendiri, disamping prilaku tak terpuji sebagian oknum anggota DPR. Anggota DPRD lain di Kabupaten Pamekasan mengakui adanya pergeseran pola pikir yang terjadi di kalangan pemilih ini. "Kalau saat ini, rasanya tidak cukup hanya dengan mengandalkan visi dan misi saja, akan tetapi juga perlu persiapan lebih. Karena masyarakat juga kecenderungannya sudah beda," kata anggota DPRD dari Partai Demokrat Khairul Kalam. Terkadang dana berbasis programpun masih sering diingkari, saat dorongan kepentingan politik lain lebih menjanjikan. "Pernah di salah satu dusun pada pemilu 2009 saya menghabiskan dana Rp2,5 juta lebih untuk membantu masyarakat perbaikan jalan dengan kontrak masyarakat di satu kampung itu memberikan dukungan sepenuhkan, asalkan jalannya diperbaiki. Tapi setelah pemilihan hanya ada dua suara," kenang Khairul Kalam. Fenomena pragmatis di kalangan masyarakat memang bukan pada semua orang. Hanya saja, mencari orang-orang yang jujur dan memegang teguh janji politik, rasanya memang sangat sulit dan kalaupun ada mungkin tergolong sangat langka, sebagaimana sulitnya kejujuran para politisi itu sendiri dalam menepati janji politiknya. Penegakan Aturan Panitia Pelaksana Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pamekasan mengakui, geliat sikap pragmatis masyarakat pemilih memang nampak dari berbagai perbincangan sehari-sehari. Ada uang mereka memilih dan jika tidak ada uang mereka abai, seolah menjadi perbincangan yang sudah terbiasa di semua lapisan masyarakat. "Kondisi seperti itu tentunya menjadi tugas berat tersendiri bagi kami penyelenggara pemilu yang mengembang visi pemilu jujur, adil, bebas langsung, umum dan rahasia," kata Ketua Panwaslu Zaini. Ia menyatakan, sebagai penyelenggara pemilu dengan tugas pokok melakukan pengawasan, Panwaslu memang perlu menegakkan aturan secara tegas. Namun demikian, upaya mengarah kepada penegakan aturan juga perlu dukungan semua pihak. Sebab, menurut Zaini, pelanggaran yang mudah terungkap apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan disatu sisi, dan menguntungkan pihak lain pada sisi uang lain. "Kalau masyarakat dengan caleg yang melakukan praktik pelanggaran itu sama-sama diuntungkan, tentunya akan sulit untuk diungkap," tutur Zaini.(*)
Sulitnya Kejujuran di Tengah Pragmatisme Politik
Selasa, 11 Februari 2014 13:39 WIB