Oleh Ahmad Buchori Jakarta (Antara) - Indonesia berupaya memberikan sumbangannya bagi dunia dengan tetap berkomitmen terlibat dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mengikuti liberalisasi perdagangan secara konsisten. Kritik dari dalam negeri masih terus bermunculan atas keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan global itu. Kritik itu muncul karena keterlibatan itu dinilai bisa merugikan Indonesia . Indonesia dianggap kurang menyadari keterbatasan daya saing dalam negeri atas sejumlah masalah yang disepakati. Tidak ada tanda-tanda Indonesia bakal keluar dari organisasi multilateral itu seperti diminta sejumlah kalangan. Bahkan ketika Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-9, di Nusa Dua, Bali, Indonesia berupaya menunjukkan diri sebagai tuan rumah yang baik. KTM WTO ke-9 pada 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua, Bali, dan diperpanjang pelaksanaan satu hari, sepakat menghasilkan Paket Bali yang berisikan tiga poin utama yaitu "Trade Facilitation" (Fasilitas Perdagangan), "Agriculture" (Pertanian), dan "Least Developed Countries" (peningkatan kapasitas negara miskin). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka KTM tersebut menjelaskan bahwa melalui pertemuan di Bali itu, Indonesia ingin memberikan sumbangannya bagi dunia dalam membangun tata niaga perdagangan yang adil, bermanfaat, dan membawa kemakmuran bagi semua bangsa. SBY menegaskan bahwa perdagangan global harus menganut asas keadilan dan transparan sehingga semua pihak yang terlibat di dalamnya mendapatkan manfaat. Liberalisasi perdagangan multilateral itu diperlukan karena bisa mendorong masing-masing negara anggota memetik manfaatnya. Kepala Negara juga mengingatkan dalam perdagangan multilateral juga patut diperhatikan pihak atau kelompok negara yang memiliki kelemahan dan memerlukan dorongan untuk peningkatan kapabilitas ekonominya. Sistem perdagangan global harus memihak pada semua negara, baik berkembang maupun maju karena pada hakikatnya perdagangan harus melibatkan semua pihak di posisi yang sama. "Memberikan kesempatan pada negara miskin dalam perdagangan memberikan kesempatan mereka untuk berkembang. Kita harus meningkatkan kesempatan. Keberhasilan kita di Bali ini adalah bila dapat memberikan dorongan bagi ekspansi perdagangan global yang pada akhirnya membantu mengurangi kemiskinan," kata Presiden. Yudhoyono mengajak semua pihak yang ada untuk bersama-sama mewujudkan adanya keseimbangan dalam perdagangan sehingga semua pihak mendapatkan keuntungan dan manfaat yang sama dari sistem perdagangan global yang disusun dan disepakati bersama. WTO merugikan LSM Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan, perdagangan bebas yang digalakkan WTO merugikan Indonesia karena mendorong dicabutnya subsidi bagi petani dan nelayan, eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Direktur Eksekutif IGJ M Riza Damanik menyatakan Paket Bali yang dibahas dalam pertemuan WTO di Nusa Dua saat ini justru memperparah krisis tadi. Karena itu, perundingan Paket Bali tidak perlu lagi dilanjutkan dan WTO harus segera diakhiri karena makin merugikan rakyat, khususnya petani, nelayan, buruh, dan masyarakat ekonomi miskin. WTO, menurut dia, telah terbukti gagal dalam mengurus perdagangan multilateral untuk kesejahteraan rakyat karena tidak bisa menjawab beragam persoalan seperti kelaparan, pengangguran, kemiskinan, dan pemanasan global. Berdasarkan data IGJ, sejak WTO terbentuk pada 1995 hingga 2012, persoalan kelaparan dan kemiskinan di dunia berada di negara berkembang. Selain itu, 75 persen dari orang miskin di dunia hidup di pedesaan yang bergantung pada pertanian. Riza berpendapat, selama ini ajang seperti instrumen WTO kerap digunakan negara-negara maju untuk "menyandera" negara-negara berkembang agar dapat menguasai produksi dan pasar dari negara berkembang. Sementara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) minta pemerintah mempertimbangkan kemungkinan keluar dari keanggotaan WTO karena dinilai lebih banyak merugikan kepentingan Indonesia. Selama ini WTO lebih menguntungkan negara-negara dengan suprastruktur pertanian, teknologi, dan jaringan yang kuat. Ketua PBNU KH Abbas Mu'in mengatakan, PBNU memandang bahwa dari aspek kepentingan masyarakat, keanggotaan Indonesia di WTO lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Indonesia lebih baik menggunakan pendekatan hubungan bilateral dalam hal perdagangan tanpa harus bergantung dan terikat dengan WTO. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan 250 juta jiwa yang sebagian besar masih mengandalkan sektor pertanian. Persaingan dengan produk pangan impor akan berakibat pada matinya petani Indonesia yang memiliki daya saing lebih rendah. Indonesia bahkan harus tampil sebagai pemimpin yang memperjuangkan kepentingan negara berkembang. Kegagalan merugikan Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan bahwa jika Paket Bali gagal disepakati maka akan banyak kerugian yang harus diterima negara-negara anggota, termasuk Indonesia. Kerugian terbesar bagi Indonesia adalah kepercayaan perdagangan multilateral akan menurun, yang akan berimbas ke banyak hal, termasuk "dispute settlement" dan sistem multifikasi kebijakan yang dianut anggota WTO. Selain itu, lanjut Bayu, kerugian yang harus ditanggung adalah keberlangsungan perundingan Putaran Pembangunan Doha akan makin tidak jelas, meski dalam perundingan itu banyak terkait dengan kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia. "Jika tidak berhasil, maka harapan untuk memperbesar skala perdagangan global kita semakin sulit, niat Indonesia untuk mendiversifikasi pasar baru juga semakin sulit lagi," kata Bayu. WTO terbentuk pada 15 April 1994, dan mulai beroperasi pada 1 Januari 1995, ketika para menteri perdagangan menandatangani akta final Putaran Uruguay, dan menyetujui pembentukan organisasi itu di Marrakesh, Maroko. WTO sendiri dibentuk setelah serangkaian perundingan sejak sebanyak 23 anggota delegasi komite persiapan pada Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyiapkan bahan tentang piagam Organisasi Perdagangan Internasional (ITO) dan menandatangani Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) di Jenewa, pada 30 Oktober 1947. (*)
Indonesia Tetap Berkontribusi Melalui WTO
Senin, 9 Desember 2013 10:51 WIB