Oleh Frislidia Pekanbaru (Antara) - Sekjen KIARA Abdul Halim menolak rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membuka peluang investasi kepada swasta atau asing pada 100 pulau kecil karena hal itu bertentangan dengan UUD 1945. "Apalagi, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 terhadap UUD 1945 memberikan empat tolak ukur," katanya dalam surat elektronik yang diterima Antara di Riau, Jumat. Dalam putusan MK itu, empat tolak ukur yang dimaksud adalah kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, dan tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Selain itu, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. "Oleh karena itu, rencana Menteri KKP tersebut harus ditegur oleh Presiden SBY karena prinsip 'dikuasai oleh negara' tidak harus diartikan sebagai pemilikan dalam arti privat oleh negara, sehingga tidak mencukupi untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat itu," katanya. Jadi, katanya lagi, investasi asing tidak akan memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam siaran pers, KIARA bersama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyebutkan fakta lapangan juga sudah membuktikan bahwa program ini justru kontradiktif dengan keempat tolak ukur tersebut. "Mirisnya sebanyak 109 kepala keluarga digusur dari Gili Sunut di Dusun Temeak, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur," katanya. Penggusuran tersebut berkaitan dengan rencana investor (Ocean Blue Resorts) membangun infrastruktur wisata bahari, seperti hotel, resort, titik penyelaman, dengan nilai investasi sebesar 120 miliar dolar AS. Saat ini Gili Sunut sudah dikosongkan, sedangkan masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan harus meninggalkan tanah kelahirannya. "Mestinya Pemerintah memprioritaskan masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sebaliknya justru kini membuka partisipasi asing untuk mengelola area seluas lebih kurang 7 hektare di Gili Sunut," katanya. Berikutnya terhadap potensi lainnya yang dimiliki enam kabupaten yang tersebar di lima provinsi semestinya bisa dikelola oleh lebih dari 4,3 juta jiwa dengan model pengelolaan kolektif dengan fasilitasi pemerintah daerah. Hal ini sudah terbukti di Bumi Dipasena. Setelah tidak lagi bermitra dengan PT Central Proteina Prima (melalui PT Aruna Wijaya Sakti), 7.512 petambak mendirikan koperasi dan perusahaan untuk mewadahi kepentingannya hingga bangkit dan berhasil. "Jadi jangan potensi kelautan Indonesia dikuasai atau diambil-alih oleh pihak swasta apalagi asing yang sudah jelas bertentangan dengan UUD 1945 itu. Rencana terkait perlu dikaji ulang," katanya. (*)
KIARA Tolak Pembukaan Investasi untuk 100 Pulau
Jumat, 1 November 2013 17:50 WIB