LSM: Reklamasi-Tambang Pasir Besi Rugikan Nelayan Tradisional
Minggu, 18 Maret 2012 20:39 WIB
Surabaya - Lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi nelayan, dan aktivis perempuan nelayan se-Jawa mendesak pemerintah dari pusat hingga desa untuk menghentikan reklamasi dan penambangan pasir besi, karena usaha itu berdampak pada lingkungan yang merugikan nelayan tradisional.
Hal itu merupakan salah satu hasil dari dialog regional untuk penyusunan instrumen perlindungan hak-hak nelayan tradisional selama dua hari (17-18/3) yang disampaikan Presidium Nasional Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Sugeng Nugroho di Surabaya, Minggu.
Didampingi Sekjen KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) Riza Damanik, Zainal Arifin (Serikat Nelayan Indonesia/SNI), dan Masnuah (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia/PPNI), ia menjelaskan pihaknya juga meminta pemerintah untuk menghentikan penangkapan ikan dengan "trawl", mencabut izin pembuangan limbah ke laut, dan menolak kenaikan harga BBM.
"Pemerintah harus menghentikan reklamasi dan menghapus seluruh izin usaha produksi tambang pasir besi di seluruh wilayah pesisir, karena hal itu mengurangi daya dukung lingkungan, seperti kerusakan ekologi yang terjadi di pesisir Jawa Barat mulai dari Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, hingga Ciamis," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus menghentikan penangkapan ikan dengan alat tangkap "trawl" yang merusak lingkungan, seperti terjadi di Gresik dan Lamongan (Jatim) serta Muara Bendera Karawang, Cirebon, Indramayu (Jabar).
Pemerintah juga harus menindak tegas dan mencabut izin pembuangan limbah industri ke laut, seperti di Teluk Jakarta Indramayu dan lumpur Lapindo Sidoarjo.
"Yang juga penting adalah kami menolak kenaikan harga BBM, impor ikan, dan impor garam. Pemerintah seharusnya menyediakan BBM bersubsidi untuk nelayan tradisional," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendukung Putusan MK No.3/PUU-VIII yang telah membatalkan HP-3 (hak pengusahaan perairan pesisir), serta mendesak organisasi pangan dunia (FAO) dan pemerintah dari pusat hingga desa untuk melidungi nelayan tradisional dengan mengeluarkan undang-undang (UU), peraturan daerah, dan kebijakan lainnya yang memihak nelayan tradisional.
Senada dengan itu, Sekjen KIARA Riza Damanik menyatakan FAO sedang mengembangkan panduan untuk itu, karena itu pemerintah harus merumuskan regulasi itu, tapi bila pemerintah tidak melindungi nelayan berarti melanggar konstitusi (UUD 1945), karena konstitusi mewajibkan negara melindungi segenap tumpah darah.
"Apa yang kami hasilkan dalam dialog regional sebelumnya di Mataram dan sekarang di Surabaya serta yang terakhir di Aceh akan kami sampaikan ke FAO dan DPR serta pemerintah, tapi sebelumnya akan kami lakukan finalisasi hasil pertemuan di Mataram, Surabaya, dan Aceh itu melalui pleno di Kaltim pada 12 April mendatang," katanya.
Ia menambahkan DPR sudah memasukkan RUU Perlindungan Nelayan Tradisional dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014, karena RUU harus segera dibahas untuk menyesuaikan dengan Putusan MK yang mengakui empat hak dasar nelayan tradisional yakni hak melintas, hak mengelola sumberdaya sesuai kearifan lokal, hak untuk memanfaatkan sumberdaya, dan hak itu mendapatkan perairan yang bersih dan sehat.
"Tentunya, pelaksanaan hak dasar nelayan tradisional itu antara lain penghentian reklamasi, pembuangan limbah ke laut, penambangan pasir besi yang merusak pesisir, pemberian subsidi BBM khusus nelayan tradisional, pelarangan penggunaan trawl yang merusak lingkungan laut, dan menolak impor ikan serta garam, dan sebagainya," katanya. (*)