"Saudara..saudara.. Percayalah.. Jika memilih pasangan ini maka kehidupan kita menjadi lebih baik dan semakin baik. Rakyatnya sejahtera, makmur, karena pemimpinnya amanat" Seperti itulah kalimat umum yang dilontarkan para juru kampanye setiap berbicara di hadapan puluhan, ratusan bahkan ribuan massa. Kalimat berupa ajakan dan janji, serta sumpah dari pasangan calon selalu diucapkan. Massa yang hadir diiming-imingi dengan harapan indah, seolah dengan memilihnya maka akan segera hilang segala bentuk kemiskinan. Juru kampanye memang disiapkan khusus untuk mengajak, berteriak dan mempengaruhi masyarakat agar mengikuti apa yang disampaikan. Dengan suara lantang, ia berupaya merayu rakyat agar mencoblos pasangan calon yang didukungnya. Kalau boleh sedikit membandingkan, kampanye tak beda jauh dengan penjual obat di pasar. Orang itu membuka lapaknya, kemudian menyalakan "sound system" mini, dan mengobral kalimat ajakan. Awalnya masyarakat yang mengerubutinya diminta untuk melihat dan memperhatikan ramuan mujarab sang penjual obat. Dengan menyontohkan penyembuhan berbagai macam penyakit, ia sangat aktif dan tak akan berhenti bicara sebelum masyarakat membelinya. Hingga akhirnya tidak sedikit yang ingin mencoba, kemudian membeli ramuan. Berhasil sudah sang penjual obat mempengaruhi dan obatnya pun laris. Artinya, diperlukan orang yang benar-benar memiliki kemampuan komunikasi efektif dengan model dan cara tertentu. Tidak puas 1 atau 2 orang, tapi puluhan, bahkan ratusan orang yang merasa memiliki masalah pada kondisi tubuhnya, dipastikan mencoba dan membelinya. Tidak jauh beda bukan sama juru kampanye, atau bahkan pasangan calon? Secara umum, tugasnya sama, yakni berbicara untuk mempengaruhi masyarakat memilihnya. Bedanya, jika si tukang obat mempengaruhi dan memberikan janji kesembuhan, namun juru kampanye mempengaruhi dan memberikan janji kemakmuran dan kesejahteraan. Jika ingin masyarakat terpengaruh, sudah jelas dibutukan seseorang yang mampu menguasai tata cara komunikasi efektif, entah bagaimanapun caranya mengungkapkan. Janji-janji inilah yang sekarang menjadi tema utama setiap kampanye. Tidak hanya pasangan calon tertentu, namun dipastikan semua pasangan melakukannya. Dengan gayanya masing-masing, juru kampanye dan pasangan calon berusaha membuat masyarakat percaya, bahwa dengan memilihnya maka akan sejahtera, makmur dan hidupnya lebih baik dari yang sebelumnya. Jika masyarakat terpengaruh maka dipastikan akan dipilih dan dicoblosnya saat pemungutan suara berlangsung. Berhasil sudah ia mempengaruhi dan harapan rakyat tentu sudah ada di pundaknya. Jika sudah dipilih, lantas apakah sang pasangan calon tadi melaksanakannya selama memimpin? Tentu semua rakyat berharap iya. Janji-janji yang sudah diungkapkan selama ini harus dilakukannya, jika tidak maka dipastikan gagal mengemban amanat. Selain mendapat hukuman sosial dari masyarakat, sang penguasa tentunya akan dihukum oleh Allah SWT karena telah berkhianat dan tidak amanah. "Pak, kalau saja sampai janji-janji yang dilontarkan selama kampanye tidak dijalankan saat memimpin kelak maka tidak hanya rakyat yang dikhianti. Suara rakyat itu suara Tuhan, sehingga mempermainkan rakyat sama dengan mempermainkan Tuhan," kata salah seorang warga Mojokerto ketika berdialog dengan salah satu pasangan calon gubernur, belum lama ini. Di negara ini, janji-janji selama kampanye tidak akan melakukan korupsi dan membela kepentingan rakyat sudah terlalu sering diperdengarkan. Tapi, terlalu sering pula kita mendengar pejabat ditangkap karena korupsi. Di Jatim, pada 12-24 Agustus 2013 masuk masa kampanye. Empat pasangan calon gubernur yakni Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa), Eggi Sudjana-Muhammad Sihat (Beres), Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah (Bambang-Said) dan Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja (berkah) diberi kesempatan mengobral janjinya. Sepekan sudah berjalan, banyak pasangan calon yang mengubah pola kampanyenya. Jika dulu kerap dilakukan penggalangan massa dan menunjukkan kepada dunia bahwa kampanyenya dihadiri ribuan orang di sebuah lapangan terbuka, namun kini perlahan sudah jarang ditemui. Tidak hanya pasangan tertentu, namun semua calon lebih mengedepankan pola kampanye humanis, yakni datang ke kantong-kantong kemiskinan dan menyapa rakyat, sambil dibumbui obral janji. Polanya, bisa blusukan kampung dan pasar, makan di warung kaki lima, naik becak, dan lainnya. Mereka berlomba mencuri perhatian rakyat dan menunjukkan bahwa dialah pemimpinnya rakyat, pelayannya rakyat, dan siap mengemban amanat dari rakyat. Pasangan Karsa, keluar masuk pasar. Pasangan Beres, turun ke terminal dan jalan-jalan. Pasangan Bambang-Said menyalami satu per satu pedagang. Pasangan Berkah makan di warung kaki lima. Begitulah cara mereka kampanye kini dan bergantian polanya setiap harinya. Sebagai rakyat, kita berkewajiban menaruh harapan ke calon pemimpin. Di Jatim, hampir 30 juta pemilih akan memberikan suaranya. Tentu asa kita tidak hanya sekedar tahu dan memilih, tapi percaya bahwa calon pemimpin itu mampu melaksanakan janjinya dan membuat makmur rakyatnya. Kamis Kliwon, 29 Agustus 2013. Sejak pukul 07.00-13.00 WIB, mari berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memberikan pilihan. Jika kita percaya Karsa, Beres, Bambang-Said, atau Berkah maka pilih salah satu, sesuai hati masing-masing. Namun pada dasarnya, keinginan semua rakyat, khususnya di Jatim ini sama. Yakni, pemimpin mendatang amanah menjalankan tugasnya, tidak korupsi, dan menyejahterakan rakyatnya. Intinya, obral-obralan janji selama kampanye harus terbukti. Sekali lagi, obralan itulah sumpah yang disaksikan puluhan juta rakyat Jatim. Selain dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat, juga dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Selamat kampanye pak, bu. Siapapun pemimpinnya, itulah amanah rakyat. Jika terpilih dan berkuasa kelak, lakukan yang sama ketika kampanye, yakni menyapa dan ikut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. (*)
Kampanye (tidak) Sama dengan Jualan Obat
Senin, 19 Agustus 2013 10:30 WIB